Rabu, 18 Agustus 2021

Jika Aku Meninggal Nanti

 "Ummi, kalau Umar meninggal nanti. Jangan biarkan kuburan Umar diberi beban kecuali tanah dan dadung yang menutupi jasad umar yang sudah terbalut kafan." sepulang dari diniyah menjelang sore ini, umar tetiba membicarakan kematian.

Sambil duduk disampingku dia memegang tanganku erat.
"Kenapa umar tiba-tiba membicarakan kematian?" ku usap rambutnya yang mulai panjang dan kutanyakan alasannya yang tiba-tiba membahas kematian.
Kami sebenarnya sering membahas kematian...saling mengingatkan diri kami masing-masing bahwa kami kelak akan terbujur kaku berbalut kafan, kemudian ditinggalkan sendirian di ruang sempit yang hanya cukup untuk badan kita untuk kemudian mempertanggung jawabkan amanahNya selama kita menghirup udara kehidupan di dunia.
Dari balik jendela ruang tamu atau jendela kamar Aufa, kami biasa melihat tepat ke depan ke bagian utara yang terdapat makam disana dan mengingat kematian untuk kemudian saling mengingatkan tentang jatah hidup yang harusnya diisi dengan apa dan bagaimana...
Kami sering membahas kematian...dengan nafas yang seolah tercekat di dada dan tangis yang tertahan. Perpisahan ruh dengan jasad, ikatan darah, kekerabatan, pertemanan dan semua yang kita cintai ataupun kita cela dan perdebatkan...
Semua akan terpisah...
Tapi tetap saja, saat anak-anak tetiba membahas kematian, ada penasaran yang berubah tanya yang mengemuka bersama haru...
"Ini salah satu wasiat jika umar meninggal, mi.waktu tepat kematian datang itu tak pernah kita ketahui kan mi, dan kita harus mempersiapkan diri agar kita tidak menyesal nantinya.
Oh ya ummi, Ummi dan abi punya hutang? ada janji yang belum ditunaikan? Pada siapa saja? Nanti catat di buku harian ummi ya.. Semoga umar dimudahkan untuk membantu melunasi hutang dan menunaikan janji ummi dan abi."
Saya...kembali menangis...
Adalah biasa, seorang ibu menangis karena anaknya..
Adalah biasa, seorang ibu menangis untuk anaknya..
Seperti saya yang selalu dengan mudah menangis dan mengucap hamdallah tidak hanya dilisan...(insyaAlloh)
"Nak, ummi bersyukur pada Alloh yang telah menjadikanmu sebagai putra yang terlahir dari rahim ini. Ummi bersyukur bisa bersama umar...dan ummi berterima kasih padamu.. Hatur nuhun, umar."
"Kita berpisah dalam fana, kelak kita berjumpa.
Duhai permata tarbiyah, anggun dalam keteguhan.
Duhai penyemai bunga dakwah, harum mewangi buana.
Hatur nuhun sudah jadi ummi umar." dia memelukku sambil menyanyikan sebagian lirik nasyid izzatul islam yang diperuntukkan bagi ustadzah Yoyoh Yusroh (Allohu Yarham).
Dia menepuk pundakku pelan, "srmoga kita berkumpul lagi di syurgaNya ya ummi." ucapnya pelan...

Catatan ini di tulis di Balananjeur, 1 Oktober 2016 saat Umar berusia 11 tahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku dan Buku