Kalimat tanya seperti ini cukup mengganggu apalagi saya tipe penulis lepas alias menulis sesuka hati ðŸ¤, bukan penulis lepas dengan konteks sebenarnya yaa, tapi penulis lepas versi saya.
Tadi malam sharing dengan seorang teman tentang luka saat kehilangan kekasih hati yang mendampinginya dalam suka dan duka selama sekian lama. Dua puluh tahun atau mungkin lebih.
Dia bercerita tentang cara mengurai sesaknya kehilangan, sangat sulit baginya. Ah, saya bisa memahami bagaimana sulitnya itu. Tidak semudah mengatakan, "sudahlah, semuanya pasti akan kembali!" Ada hati yang tak kan mudah melepas semua ikatan akan kenangan yang tlah banyak terlewati.
Dia mencoba menulis untuk mengobati lukanya, bingung apakah tulisan itu boleh di publish atau tidak sedangkan banyak orang yang merasa tak baik mengumbar duka.
Aduhai, sungguh tak mudah mendekap empati. Tidak setiap duka yang di publish atau apapun itu di posting untuk mengumbar. Sungguh buruk lisan yang tak sudi menabur prasangka baik, kalimat kasar menjadi pemicu luka baru bagi hati yang terluka.
"Curhat nggak boleh di medsos!" Pada saat yang sama dia sedang curhat di medsos, curhat tentang ketaksukaannya melihat orang membagi kisahnya di media sosial. Sungguh jemari memang lebih elok untuk menunjuk diri sendiri.
"Orang lain bisa setabah itu saat ditinggalkan, kenapa aku tetap serapuh ini!" My dear, jangan lukai dirimu dengan membandingkan hidup dan perasaanmu dengan orang lain!
Oh well, saya kemudian menuliskan tentang dia di sini. Luka yang mungkin dia rasakan, dia butuh waktu untuk menyembuhkannya.
Balananjeur, 11 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar