Saya pernah marah akan sesuatu bahkan sampai julid tapi bukan berarti saya julider, saya bahkan bukan penjulid yang baik karena saat julid teh tetap mikir, "kok harus julid?" Misal saya marah atau julid pada seseorang, yang bergema di pikiran teh justru kebaikan orang itu. Akhirnya batal buat merasa kesal.
Pernah sih marah agak lama, tapi ingat kata Rasul laa taghdhob walakal Jannah. Saya jadi mikir, saya kan pengen syurga jadi saya harus segera menyudahi marah yang ada. Artinya, marah mah hal yang wajar kan ya tapi nggak boleh menyimpan amarah apalagi sampai marah-marah.
Hmm.. ada sesuatu yang melukai perasaan atau bikin nggak nyaman, wajarlah kalau kita marah. Tapi saya diberi pilihan untuk memaafkan. Lagian apa sih yang didapat saat kita milih meluapkan amarah?
Oh hey, ada yang bilang melerai amarah nggak mungkin tanpa meluapkan. Kita duduk menadahkan tangan dan bersimpuh atau menulis di buku catatan harian kita sambil mengurai semua rasa yang ada insyaAllah bisa dicoba jadi nggak perlu sampai seluruh dunia tahu kalau kita marah sama si A atau si C bahkan sama sama si A sampai si Z. Nggak perlu ngajak orang buat menghujat orang yang membuat kita marah, nggak perlu membuat kehormatan orang tercabik karena kemarahan kita.
Sampaikan kalau kita nggak suka dengan cara atau ucapan dia, tapi percayalah kita bisa menyampaikannya tanpa membuat Izzah kita tergadaikan.
Saya teh lagi nulis apa? Saya sedang berencana banyak nulis untuk hari ini 😅 nulis random dan suka-suka ðŸ¤
2.
Masih tentang marah dan amarah.
Saya pernah marah agak lama dan menuntut permintaan maaf dari orang yang membuat saya marah. Setiap kali mendengar nama orang yang dimaksud apalagi melihat orangnya, darah serasa mendidih. Duh saya bahkan nggak pernah tahu gimana darah kalau sedang mendidih.. but, ini terlalu berlebihan sih karena tipe marah saya nggak sampai segitunya. Saya hanya merasa tidak nyaman sampai tiba-tiba saja menangis, nangis karena kesal pada diri saya sendiri karena membiarkan diri saya terjebak dalam suasana hati seperti itu.
Ya, saya cenderung menyalahkan diri saya sendiri meski di saat bersamaan saya juga menuntut dan menunggu permintaan maafnya. Asa teu konsisten begitu nya? Hee..
Permintaan maaf tak kunjung hadir, saya juga mulai merubah pemikiran saya dengan tak lagi menyalahkan diri saya sendiri. Saya mulai menyadari bahwa satu hal yang justru menyakiti saya adalah menyalahkan diri sendiri atas kesalahan orang lain atas saya sekaligus menuntut orang tersebut minta maaf.
Dia minta maaf atau tidak, itu urusan dia. Dan urusan saya adalah apa yang akan saya pilih; merasa tersakiti dan larut dalam rasa itu atau memaafkan. Akhirnya saya ikrarkan untuk memaafkan, "saya memaafkan mu atas apa yang kamu lakukan hari itu." Saya juga memilih untuk memilah pertemanan, saya juga memilih untuk mengakhiri menyalahkan diri sendiri atas perbuatan tidak baik dari orang lain.
Saya memilih menepi lalu kemudian membagikan pengalaman kecil yang terjadi bertahun yang lalu.
"Teteh mah kayak nggak pernah marah ya." Dan untuk anda yang mengatakan hal itu, anda keliru, saya sering marah. Sangat sering malah ...
3.
Balananjeur hujan disertai guludug, saya duduk di kursi ruang tamu sambil melihat hujan dari jendela ruang ini. Sering terpikir untuk melihat hujan dari teras samping ditemani secangkir coklat panas, namun karena saya mudah masuk angin jadi urung dilakukan dan tetap memilih melihat hujan dari balik jendela.
Saya senang saat melihat hujan, rasanya menenangkan apalagi saat kondisi hati sedang dilingkup perasaan marah.
Oh well, hari ini saya memang sedang ingin menulis perihal marah dan amarah.Masih tentang marah.
Tadi saya ngobrol dengan dua ponakan, anak gadis nya kakak-kakak saya, tentang hidup berumah tangga yang bukan hanya ketemu manis tapi banyak juga pahit-pahitnya. Nano-nano rasanya.
Nah yang ingin saya tuliskan disini tentang marah pada pasangan. Nggak mungkin kan marah kalau lagi senengmah, jadi marah biasanya datang disaat sebaliknya dari kata senang.
Yang sudah punya pasangan pasti ngerti gimana sepat-sepat nya dalam rumah tangga. Kata teman saya mah langit terasa runtuh kalau lagi marahan sama pasangan teh tapi tiba-tiba saja dunia serasa milik berdua saat mulai baikan 😅
Sahabat, apa yang biasanya anda lakukan saat sedang merasa marah pada pasangan anda? Awal-awal nikah mah saya milih menepi dan diam sejenak sampai tidak merasa marah lagi. Saya pikir kemarahan saya sudah reda, nyatanya saya hanya mengendapkannya dan bahkan menyimpannya jauh di dasar hati yang setiap waktunya bertambah hingga akhirnya menggunung dan melukai diri saya sendiri. Saya tidak berusaha memaafkan hanya melupakan namun ada saat semua yang berusaha dilupakan itu mencuat ke permukaan.
Saya tidak mau seperti itu, saya tidak ingin menjadi seorang pendendam atau pandai menyimpan sakit hati. Kalau saya terluka maka saya harus menyembuhkannya bukan menyembunyikannya, kalau saya merasa marah maka saya harus memaafkan dan menyelesaikannya bukan menyimpannya.
Akhirnya saya memilih mengatakan ketidaknyamanan saya akan sesuatu. Tentu saja suami istri itu tak selamanya bersikap manis atau penuh kata-kata manis, sangat sering ada paketrok dalam rumah tangga. Ada saat kita menyakiti atau disakiti..
Tapi dengannya kita sedang berjuang menggapai cinta yang besar, cinta Allah. Akan tak nyaman jika ada luka yang hanya pandai disembunyikan sendirian yang akhirnya berakibat tak Ridha pada pasangan, merasa hidup dalam penjara penuh racun, tak ikhlas akan perjuangan berumah tangga.
Dan saya memilih menjaga diri saya sendiri dari rasa seperti itu. Setelah memahami tak nyamannya menyimpan tanpa menyelesaikan atau memaafkan, saya pun memilih untuk menyelesaikan untuk kemudian memaafkannya.
Saya katakan padanya bahwa saya tidak nyaman atas sesuatu, saya katakan bahwa saya juga marah. Saya katakan semua alasan ketaknyamanan dan kemarahan saya dan beliau mendengarkan saya hingga usai semua rasa negatif itu. Hanya dengan kata, hanya dengan siap didengarkan, lalu..hanya dengan sebuah pelukan dan kalimat baik, "Hapunten Abi membuat Ummi terluka." MasyaAllah lenyaplah amarah dan tak pernah tersimpan dan kembali lagi.
Kalaupun ada amarah karena hal lainnya, kemarahan dulu tak pernah mencuat karena yang dulu sudah usai.
4.
Kenapa saya memberikan tanda dengan hastag #defatentangmarah ?
Ini hanya cara saya agar mudah mencari dan menyalinynya untuk disimpan dalam catatan blog atau mengingatkan saya saat saya membutuhkannya.
Menulis adalah merenung, menuliskan jejak adalah mengingatkan. Mengingatkan? Suatu saat jika saya bertemu kondisi yang sama dengan yang pernah saya tuliskan, maka tulisan ini mengingatkan saya akan bagaimana cara saya menghadapi kondisi itu dan keluar dari sana dengan baik.
Laa Haula walaa quwwata Illaa billahil 'aliyyil 'adziim.
Catatan saya tentang marah belum sepenuhnya usai, saya ingin menuliskan semua yang benar-benar ingin saya tuliskan. Semoga saya dan siapapun yang berkenan membaca dapat mengambil saripati hikmahnya.
Sungguh saya hanya berharap kebaikan, semoga Allah Ridha usaha ini.
Lalu apalagi yang ingin saya tuliskan tentang marah dan amarah?
"Kamu nggak tahu rasanya, enak bener harus memaafkan."
Saat memaafkan kesalahan orang lain, siapakah yang diuntungkan? Siapa yang paling diuntungkan? Orang yang berbuat kesalahan kah? Tidak, justru kita yang mendapat keuntungan dari memaafkan.
Why? Segala yang tersembunyi di hati kita tak lepas dari pertanggungjawaban, hati kita juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam amal kita karena hati bisa menggerakkan kita untuk berbuat baik atau buruk. Semua di hisab dengan amalnya masing-masing, dengan usahanya masing-masing.. saat kita memaafkan, kita sedang mengurangi beban hati kita, meluruskan amal kita, mengurangi tumpukan beban hisab yang memberatkan Mizan keburukan kita, mengurangi beban dosa dan sekaligus menjaga kewarasan kita. Kita butuh menjaga kewarasan untuk hidup dengan benar.
Tapi, memaafkan bukan berarti melupakan.
5.
Masih tentang marah. Kok ngomongin marah terus, sih? Hanya ingin saja ðŸ¤
Suatu hari ada seseorang mengetuk pintu rumah kami dengan keras, pikiran saya mulai tidak nyaman. Ya atuh ngetuk pintu dengan keras pasti ada maksud yang kurang menyenangkan, entah apa maksudnya tapi saya memilih membukakan pintu. Padahal tangan gemetaran karena saya tidak terbiasa dengan suara keras.
Saat pintu dibuka nampak seraut wajah memerah dengan mata melotot tajam, jari telunjuk menunjuk tepat ke arah muka saya disertai kalimat sumpah serapah. Saya tidak bisa menyimak dengan baik karena saya tidak mengerti maksud ucapannya namun saya simpulkan kalau seseorang didepan saya ini sedang marah-marah. Dia memarahi saya atas sesuatu yang tidak saya lakukan, dia tidak bisa mengontrol amarahnya dan akhirnya memilih meluapkannya langsung pada saya.
Andai dia datang mengetuk pintu dengan salam penuh Rahmat lalu bicarakan baik-baik permasalahannya, tak akan ada yang tersakiti dengan sikapnya. Ah, kata andai tak seharusnya ada, bukan? Apalagi saat belasan tahun kemudian orang yang bersangkutan mengungkapkan penyesalannya atas hari dimana dia mengacungkan jari telunjuk disertai kata-kata kasar untuk kejadian yang hanya ada dalam persangkaan.
Ternyata dimarahi itu nggak enak, ternyata bertemu orang yang tidak bisa mengendalikan amarah itu nggak enak, ternyata dipelototi orang sambil di tunjuk-tunjuk itu nggak enak, ternyata mendengar kalimat penuh sumpah serapah itu nggak enak.
Saya memahami bagaimana tidak enaknya mendapati hal seperti itu, jadi bagaimana bisa saya melakukan itu pada orang lain.
Hmm.. penting banget ya untuk bertanya pada diri sendiri, "suka kah saya jika diperlakukan seperti ini (misal dimarahi atau di julidi dan semacamnya) oleh orang lain?"
6.
#defatentangmarah berakhir di postingan ini. Seperti yang saya tuliskan pagi ini, saya akan menulis agak banyak. Bukan dalam rangka melerai rasa tapi hanya berbagi sedikit pengalaman dan pemikiran.
Kalau sedang marah, pengennya gimana? Marah-marah? Mengumpat? Mencaci? Menghujat dan mengajak orang untuk ikut menghujat?
Pilihan kita adalah amal kita, tabungan hisab kita.
Saat kita memilih memaafkan bukan berarti kita membenarkan keburukan, saat kita memaafkan bukan berarti kita akan benar-benar lupa apalagi sampai membuka peluang orang lain untuk berbuat tidak baik atas kita. Memaafkan juga berarti belajar untuk tidak masuk ke dalam jurang yang sama untuk kesekian kalinya.. memaafkan juga menghindarkan diri untuk mendapat luka serupa.
Allohu a'lam bishshowab.
Saya agak bingung sih, ini teh pengen nulis tapi bingung nulisnya kumaha.
'Alaa kulli haal, semoga bermanfaat.
#catatandefa
#defatentangmarah
Balananjeur, Senin, 27 Desember 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar