Beliau bercerita, tentang sepi yang menyapanya meski dikelilingi banyak orang disekitarnya. "Entah apa yang membuat ibu merasa kesepian sedangkan banyak orang disekitar Ibu."
Riak kecil bersemayam di ujung netranya yang keriput, ada riak kerinduan disana, itu yang kulihat. Namun beliau, ibu yang tegar dengan sunyi dan kerinduannya itu.
"Ibu punya 4 anak, satu perempuan dan 3 laki-laki, semuanya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Mereka semua anak-anak baik, dalam pandangan ibu mereka anak-anak yang sangat baik dan sopan." Ah, saya teringat Emak dengan 4 anaknya. Emak juga memiliki 4 anak, 1 perempuan dan 3 laki-laki. Apakah kerinduan seperti ini juga ada dalam benak emak? Saya mulai bermonolog dengan hati sembari menyimak kisah ibu Ania.
Tapi tunggu dulu, apakah kiranya yang membuat netra ibu Ania diselimuti riak yang basah?
"Suatu hari salah satu anak ibu melakukan perjalanan, dia tinggal jauh dari rumah ibu dan dia bersama keluarganya melakukan perjalanan. Perjalanan itu melewati jalan ke rumah ibu." Saya mulai membuat skema cerita sendiri setelah mendengar pembuka kisahnya. Alurnya mungkin bahwa anak beliau tidak mampir mengunjungi beliau dan beliau..terluka. Ah, ini spekulasi saya dan saya menyimpannya untuk diri sendiri lalu memilih untuk kembali mendengarkan.
"Dia mengabari ibu bahwa dia sedang melakukan perjalanan bersama keluarganya, tapi.. apakah sesulit itu untuk mampir mengunjungi ibu tua ini? Tapi Nak, ibu memaksakan diri ibu sendiri untuk hanya berprasangka baik padanya karena ibu menyayanginya sampai salah satu menantu Ibu mempertanyakan 'padahal bisa mampir dulu, sesulit itukah?' ibu kembali terpikir lagi, ya benar sesulit ibukah menjumpai ibu yang tlah renta ini?" Saya melihat duka itu kentara dari bola matanya yang gelisah.
"Ibu tidak boleh terluka demi anak-anak, ibu tidak boleh terluka. Ibu harus sabar, harus ikhlas." entah kenapa kalimat ini terdengar seperti, "nak, jaga hati ibumu!"
Ibu yang lain bercerita, sebut saja namanya Bu Syaima, 75 tahun. "Suatu hari ibu sakit." air mukanya berubah sendu di awal prolognya.
"Ibu cerita sama menantu ibu kalau ibu sedang ingin makan ikan. Dia menyarankan untuk membeli sedangkan di saat yang bersamaan dia juga bercerita kalau dia baru membeli ikan." dia membuang nafas sejenak, membuang sesak yang menyapanya.
"Ini masalah sepele, tapi ibu tetap berpikir apakah sesulit itu sekedar menawarkan satu saja ikan yang dia beli untuk ibu yang sedang ingin makan ikan? Hanya karena dia mengatakan dia baru membeli dan ibu tak menemukan orang yang menjual ikannya saat ibu bercerita itu. Ibu juga tak juga mendapat tangkapan ikan dari tambak ikan ibu."
"Tapi ibu tidak boleh terluka karena anak ataupun menantunya. Ibu harus ikhlas dan sabar."
"Apakah sesulit itu?" kalimat ini mewakili rasa hati ibu yang terluka lalu ia mencoba membalut lukanya dengan mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terluka, untuk sabar dan ikhlas.
Saya mulai melihat, seseorang tidak hanya memetik apa yang ditaburnya. Dua ibu itu adalah anak dan menantu yang sangat baik bagi orang tua dan mertuanya hingga akan pantaslah baginya untuk bertanya, "sesulit itukah?"
Bu Ania dan Bu Syaima hanya menabur kebaikan lalu Allah berkehendak mereka untuk memetik gulma juga di sekitar pohon yang mereka tanam. Sungguh Allah pasti memberikan pengajaran dalam setiap kejadian.
Balananjeur, Selasa, 9 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar