Oleh : Dede Fatimah Shalihah
Aku melihat ibu yang tak kuasa menahan deras laju air mata setiap kali tangannya bergetar mengobati setiap inci kulit putri kecilnya, ah tidak tapi gadis remajanya. Ia menahan deru gemuruh di hati agar putrinya tetap kuat seperti biasanya. Ibu itu hanya ibu yang seringnya akan menangis lebih keras saat ada sesuatu yang membuat anaknya terluka, bahkan saat anaknya sendiri tidak memperlihatkan luka hatinya.
Aku disini, melihat ibu yang sedang mencabut aneka rimpang dan tumbuhan yang ia yakini bisa menjadi ikhtiar untuk kesembuhan putri kecil yang kini telah remaja itu. Ia mengambil beberapa rimpang dan membersihkannya dengan berselimutkan doa di setiap helaan nafasnya, berharap usahanya Allah jadikan wasilah kesembuhan putri yang selalu ada dalam setiap dentang doanya.
Ia memarut rimpang-rimpang itu dan menggodog sebagiannya serta menyimpan sebagian lainnya untuk obat oles. Ibu itu tak henti dengan doa-doanya, meminta kepada sang pemilik kehidupan agar IA melihat ini sebagai usaha dan doa bagi buah hati dan Allah kabulkan.
Tangannya Kembali bergetar setiap mengoleskan bahan racikan itu ke seluruh tubuh Ananda yang dala sakitnya akan tetap mengatakan, “jangan menangis, Mi! Teteh baik-baik saja.” Lalu adakah ibu yang meyakini anaknya baik-baik saja sedangkan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana anak gadisnya dipenuhi ruam yang terasa panas, gatal dan sakit pada saat bersamaan.
Ya, aku masih disini melihatnya yang kini menangis diam-diam di atas sajadahnya sambal mengadukan kelemahan hatinya pada Allah yang Maha Menguatkan. Betapa rapuh menyelimuti setiap denyut nadinya, sesak menyapanya, ini bukan tentang dirinya namun pada buah hati yang dikasihinya.
Aku melihat dari ujung mata pada netra lain di ruangan sebelah, gerimis jua menyapanya, ia gadis remaja yang tahu akan tangis ibunya.
“Apakah sakit?” tanya ibu kala mengobati gadis remajanya itu.
“hanya sedikit perih.” Jawab Aufa pelan. Hanya sedikit, tidak itu tidak sedikit, cara dia menarik dan mengeluarkan nafas jelas terlihat bahwa itu tidak sedikit perih tapi sangat perih.
“kalau tidak karena Allah, apa yang kira-kira engkau lakukan?” demi mengetahui tingkat sakitnya, ibupun mengganti kalimat tanyanya.
“mungkin teteh sudah menjerit kesakitan.” Jawaban itu cukup menggambarkan seperti apa sakitnya.
Aku tahu pasti bahwa tingkat sakit setiap orang itu berbeda. Saat kau berselancar di dunia maya dan mengetikkan nama penyakit yang dideritanya akan kau temui banyak rupa dan cerita. Setiap orang memiliki rupa dan cerita yang berbeda, tentang autoimun adalah segala tentang belajar memahami signal tubuh sendiri. Setiap orang memiliki alarm tubuh yang tidak sama, tingkat sakit yang tidak sama bahkan alasan yang berbeda saat kambuhnya. Jika ada yang mengatakan stress pikiran sebagai penyebab terbesar selain alasan lainnya, mungkin saja itu benar tapi itu tidak tepat disematkan pada Aufa. Aufa memahami tingkat stressnya sendiri, emosi yang stabil dan pasrah serta Ridha pada ketentuan Allah baik ataupun buruknya. Lalu pada Aufa, mungkin saja fisiknya yang Lelah namun dia tidak menyadarinya jadi kalau ada yang mengatakan kelola stress emosinya maka itu tidak selalu tepat untuk setiap orang karena masing-masing tubuh memiliki tingkat penerimaan tersendiri dalam menghadapi dan memahami sesuatu. Tidak setiap gejala autoimun terjadi karena ketidakmampuan mengelola stress atau manajemen stress dirinya kurang baik namun setiap gejala autoimun berpotensi menghadirkan stress bagi penderitanya.
"Kasih tahu Ummi kalau sakit ya Nak!" Ibu tetap khawatir jika Aufa kesakitan saat Ibu mengobatinya.
"Ummi jangan khawatir, teteh baik-baik saja." Akan selalu kudengar kalimat yang sama atau kalimat lainnya, "maafkan teteh ya Mi!" Setiap kali ibu mengobati Aufa dengan obat yang diraciknya sendiri.
Balananjeur, Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar