Dede Fatimah Shalihah
@defa_shidayat
Aku harus menarik nafas agak dalam sebelum menceritakan kisah yang akan dituliskan ini.
Oh iya, perkenalkan, aku Rasyidah, 40 tahun, ibu dengan 4 anak remaja, masing-masing berusia 19 tahun, 17 tahun, 15 tahun dan 11 tahun. Aku ibu rumah tangga yang kesehariannya persis seperti nama profesi yang tertulis dalam kartu tanda pendudukku : mengurus rumah tangga. Ah, entah sejak kapan nama profesi ini tercantum seperti itu di dalam KTP? tetapi biarlah kita abaikan sementara perihal profesi di KTP yang mengalami perubahan dari ibu rumah tangga menjadi mengurus rumah tangga.
Tapi, sebentar. Aku juga ingin sekilas membahas tentang profesi di KTP, 'mengurus rumah tangga', kesannya seperti seorang profesional yang mengurus rumah dengan baik tanpa embel-embel nama ibu yang akan mengurus rumah dengan penuh kasih tanpa mengharap balas jasa. Ibu akan mengurus semua yang berada di seisi rumah tanpa kecuali dengan penuh cinta .. bukan hanya mengurus rumah tangga seolah profesinya seperti itu tapi lebih daripada itu, ia mengurus rumah sebagai bentuk khidmatnya pada keluarga dan ibadahnya pada penciptanya.
Ibu rumah tangga bukan hanya sebagai seseorang yang bertugas mengurus rumah tangga apalagi bagiku yang hampir setiap hari bertemankan sakit yang mendera.
Ya, aku ibu rumah tangga yang setiap waktu bisa tiba-tiba tumbang karena sakit yang agak berat. Katanya sih seperti itu. Aku sendiri tidak bisa mendiagnosa penyakit sendiri dan inilah hasil pemeriksaan yang diterima bertahun yang lalu, bahwa aku mengidap beberapa jenis autoimun dengan komplikasi.
Autoimun itu kondisi dimana sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri, aku sering mengatakannya sebagai imun yang sedang lupa arah.. hahaha. Iya, kan? Imun yang harusnya bertugas melindungi tubuh dari gangguan penyakit atau segala sesuatu yang membahayakan tubuh eh malah menyakiti dan menyerang organ tubuh yang harusnya dilindungi.
Autoimun itu ada beberapa jenis dan kategori, aku termasuk dalam kategori gangguan non-organ-spesifik, yang berarti banyak organ atau semua sistem tubuh mungkin terpengaruh.
Kondisi semakin berat dengan komplikasi penyakit lain, ada masalah di pembuluh darah jantung yang sampai saat ini belum tertangani serta gangguan pencernaan di usus dan lambung yang terjadi entah karena autoimun itu sendiri atau karena kondisi fisik secara keseluruhan. Ah, aku sedang tidak mengajak untuk berpikir apa yang terjadi tanpa menceritakan apa yang kurasakan.
Penting banget ya menuliskan apa yang dirasakan? Karena inilah alasanku menulis dan membagikannya disini. Bagaimana aku melaluinya hingga akhirnya menjadikan itu sebagai bagian kesyukuranku dalam hidup yang ku jalani.
Suami ku bertanya, "sakit seperti apa yang dirasakan?" saat sakitku kambuh, ini adalah sakit yang sulit kudeskripsikan. Yang aku tahu bahwa aku terkadang kehilangan penglihatan, terkadang mengalami sakit kepala yang hebat, mual muntah yang terjadi hampir setiap hari. Tiba-tiba aku kesakitan dibagian perut dan dokter mendiagnosa sebagai sakit ginjal, terkadang di lambung ataupun usus. Dan aku mengalami sakit sendi yang membuatku kesulitan bergerak ataupun membalikan badan.
Dada sebelah kanan bagian atas tiba-tiba merasa sangat sakit seolah ditusuk-tusuk yang intensitas sakitnya mirip seperti saat melahirkan. Hanya berjeda sekian menit dari sakit ke sakit. Rambut rontok, berat badan menyusut setiap waktunya hingga terkadang kehilangan fokus.
Kehilangan kesadaran menjadi cerita pengiring saat sakit seolah mencapai garis sesak. Aku menjalaninya sambil tetap memusatkan perhatian pada keluarga dan rumahku. Menikmatinya sebagai bagian dari hidup yang tlah ku azzamkan, "Robbi, hamba Ridha." Kalimat yang terucap dalam do'a yang terpanjat itu menjadi langkah Ridha yang terpanjatkan.
Dulu aku menangis saat sakit mendera sedang disaat bersamaan ada anak balita yang harus kuperhatikan lalu ku tengadahkan tangan dan kuuraikan segala rasa, "Rabbanaa, Rabbana, ini sangat sakit.." ku lirihkan segala rasa padaNya hingga Azzam terpatri dan kalimat Ridha tertancap di dada, "Rabbana, hamba Ridha.." karena Ridha adalah saat sakit masih terasa namun hati akan lapang dengan izinNya.
Biarlah sakit tetap terasa lalu Allah jadikan kebaikan daripadanya. Bukankah dalam sakit seorang muslim Allah sertakan hikmah kebaikan diantaranya adalah terhapusnya dosa kala kita bersabar atas sakit yang Allah ujikan. Dan sabar bukan berarti berdiam diri membiarkan sakit tanpa ikhtiar kesembuhan, sabar adalah tetap berusaha maksimal untuk sembuh dan berlapang dada atas hasil yang Allah pilihkan. Sabar adalah tidak mengeluhkan ujianNya dan berandai dengan pengandaian apapun, "andai aku seperti itu tentulah aku akan bersyukur."
Sabar adalah bukti syukur seorang hamba.
Namaku Rasyidah, usiaku 40 tahun dan aku ibu dari 4 remaja yang salah satunya Allah taqdirkan mengidap sakit yang sama denganku. Tlah kuazzamkan bahwa aku Ridha dengan ketentuan Allah atas diriku namun ternyata bukan hal mudah saat mengetahui salah satu anakku mengalami hal yang sama denganku. Allah uji aku dengan hatiku yang sulit bersabar dikali pertama mendapat ujian.
Menangis menjadi caraku melerai sesak dikali pertama kami mendapat kabar hasil diagnosa salah satu putri kami. Aku menangis dan menyalahkan diri sendiri karena merasa menurunkan penyakit hingga aku kembali pada kesadaran, "tiada satu daun pun yang jatuh kecuali atas kehendak Allah. Qodarullah wamaa syafa'alaa." Kembali ku tengadahkan tangan dan ku peluk kalimat thayyibah sepenuh hatiku, "Robbana, Engkau Maha Tahu cara terbaik mendidik jiwa kami yang lemah! Engkau Maha tahu kemampuan dan semua yang terbaik untuk kami.. kuatkan keyakinan kami dan jadikan ujian ini sebagai jalan kebaikan bagi kami di dunia untuk kelak di akhirat. Robbana, apapun dariMu, jadikan itu sebagai jalan kebaikan yang membuatMu Ridha atas kami."
MasyaAllah, laa Haula walaa quwwata Illaa billah, sungguh Allah Maha Baik, doa bukan perkara apa yang kita pinta tapi perkara saat kita butuh untuk berdoa dan saat kita berdoa. Nikmat Allah bukan hanya terletak pada terkabulnya doa tapi saat hati kita terpacu untuk berdoa dan saat kita berdoa padaNya. Allah lapangkan, setidaknya itu yang dirasakan.
Tidak lagi gelisah saat sakit menyapa dan yakin bahwa Allah yang Maha menyembuhkan pasti akan menyembuhkan tanpa menghilangkan jejak sakit lainnya.
Ujian tidak akan berhenti sampai titik kita merasa lapang namun akan terus berlanjut hingga nafas terakhir kita hembuskan. Tak apa, ini adalah sunnatullah kehidupan dan tugas kita adalah berjuang; dengan do'a dan ikhtiar yang benar serta penyerahan diri yang total pada keputusan Allah atas kita.
*Naskah tulisan ini saya kirim di suatu event nubar, Alhamdulillah lolos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar