Rabu, 08 Februari 2023

39

Sebenarnya kalau saya urutkan pun kayaknya nggak bakal semua tertuangkan, karena perjalanan pembelajarannya masih on going jadi fase belajarnya pun masih tetap dalam masa penelitian..belum tahu ujung kisahnya akan seperti apa dan bagaimana. Namun saya ingin mengurai beberapa pelajaran yang membuat saya seperti berkejaran dengan ego saya sendiri saat menjalaninya. Lalu berdebat dan mendebat hingga akhirnya saya tahu, "jadi, ternyata seperti itu." Hingga tak jarang so²an ngasih tips buat mereka yang sedang memulai perjalanan .

1. Pelajaran pertama. "Kok kamu gitu." 
Sebelum menikah yang ada didalam bayangan adalah hari-hari penuh romantisme baik dengan kata maupun sikap. Terpikir bahwa seperti apapun aku dan seperti apapun dia, kami akan tetap saling menerima apa adanya tanpa membuat syarat dan menuntut ini dan itu. Realitanya, berumah tangga tidak selalu dipenuhi kata-kata cinta ataupun semerbak aroma kemesraan, tidak juga selalu tentang aku terima kamu apa adanya dirimu. Saling menuntut untuk sesuai tipe ideal masing-masing, ternyata doi bukan tipikal yang senang mengumbar kata cinta seperti kita. Mulai lah terhempas di dunia nyata yang tak sesuai ekspektasi..
Ada yang seperti itu? Saya yakin banyak


Trus gimana dong solusinya? Tenaaaang, di awal berumah tangga mah masanya adaftasi. Jaim nya nggak perlu lama-lama 🤭 hmm saya sih gitu. 

Well, pelajaran kedua..

2. "Kita bakal cocok nggak ya? Soalnya kita beda banget."

Saya yang akan berpikir panjang sebelum mengatakan sesuatu meski sekalinya bicara akan banyak kata yang keluar, menimbang bermanfaat atau benarnya kata sebelum diucapkan dan doi yang akan langsung mengatakan sesuatu tanpa memikirkannya dulu. See, beda banget kan? 😅

Saya yang dengan mudah mengekspresikan rasa senang, sayang, sedih, tapi tidak tahu cara menampilkan marah (waktu awal nikah 🤭), dan dia yang no ekspresif. Beda banget, kan? 

Bentar...bentaaaar... Jangan dulu koment manusia emang beda! Saya kan hanya cerita kalau saya menemukan pelajaran baru lainnya dan saat itu keyakinan, "perbedaan diantara kita, pemberi warna dikehidupan." (Auto nyanyi lagu nya snada 🤭) seolah terabaikan.. lupa kalau memang perbedaan itu suatu keniscayaan. Eh ingat siiih tapi... Pengennya doi itu ngerti kalau saya inginnya dia pun sama dengan saya. Hahaa.. 

Mulai deh hati teh menghitung perbedaan demi perbedaan, mulai dari cara bicara, cara makan, dan lain sebagainya pokoknya tidak ada yang terlewat.. yups, menghitung perbedaan yang kok rasanya jauh lebih banyak. 

Bagaimana cara menghadapinya? Sttt bentar deh kita bikin dulu kisi-kisi masalahnya 🤗

3. "Bukan asal aku dan kamu semua akan baik-baik saja." 
Tahu kaan gimana lihainya permainan cinta? Dalam benak teh yang penting, "aku dan kamu bersama." Yah, yang penting bersama orang yang dicinta tak peduli seperti apa nantinya atau bagaimana nanti. 
Oh nooo, ternyata bukan seperti itu. 
Baiklah, masa bulan madu mah (ehm) masih happy saja, prinsip 'yang penting bareng kamu' masih jadi alasan we'll happy seolah sudah happily ever after Weh.

Nyatanya... Kemudian mulai deh bermunculan, "makan bukan pakai cinta." Hahaha..

4. "Please deh jangan intervensi aku! Aku memang isterimu, tapi aku memiliki kebebasan untuk mengatur diriku sendiri!" 
Menu materi belajarnya makin bikin bad mood. Terbiasa ngleader tapi sekarang apa-apa ada yang ngingetin harus begini, baiknya begitu. "Oh no, aku terbiasa nyuruh bukan disuruh." 
"Ini hidupku, meski kamu suamiku tapi kamu nggak berhak mengatur aku harus bagaimana dan seperti apa."

5. "Itu keluargamu, bukan keluargaku." 
Duh duh duh.... Makin segala ada ya dalam biduk. Ternyata kita bukan hanya menikahi suami kita tapi juga mulai nambah ruang lingkup interaksi sosial yang butuh jaim banget biar nggak bikin kita jadi sasaran intervensi keluarga baru itu.

Jaim banget. Yang biasanya tegas, harus terlihat lembut karena sekalinya tegas langsung deh dapat teguran dari keluarga baru. Sure bukan teguran langsung tapi dari bisikan yang tetap saja kedengaran.

Biasanya tidak mengerjakan pekerjaan rumah seperti ngpel ataupun masak buat seisi rumah, eh tiba-tiba saja harus memaksakan diri untuk melakukan ini dan itu karena kalau terlihat malas-malasan seperti waktu lajang maka tunggu aja peristiwa jadi bahan diacuhkan atau dapat label pemalas. 

Semua ini karena masih belum saling mengenal..

Sampai puncaknya merasa letih karena merasa tak bebas menjadi diri sendiri, padahal keluarga sendiri mah nggak pernah protes tentang kepribadian kita. Nerima banget apa adanya kita.

Belum lagi kalau harus tinggal serumah dengan keluarga suami karena belum ada dana untuk tinggal sendiri.

Nah trus gimana? Saya malas berdebat atau nyimpan pemicu konflik jadi saya ajak dia bicara, "ngobrol yuk!" Itu kali kedua saya mengajaknya bicara dengan kalimat ajakan, "ngobrol yuk!" (Yang pertama di hari pertama usai ijab) Dan dia tahu kalau saya sudah mengatakan itu berarti ada yang urgen untuk dibicarakan.

Komunikasikan!

Saya tidak ingin ngebatin yang efeknya pasti tidak baik untuk perjalanan kedepannya.
Perjalanan hidup bareng dia adalah perjalanan yang ingin dilalui sepanjang usia dari sejak resmi menjadi istrinya, kalau diwarnai acara membatin sendiri, bagaimana bisa bahagia? 

Saya katakan padanya harapan saya dalam berumah tangga, apa yang saya suka dan tidak suka, bahwa saya akan selalu mengajaknya berbincang tentang banyak hal dan sayapun mengharapkan dia melakukan hal yang sama. Untuk selalu saling mengingatkan goal/visi bersama, bahwa visi kita adalah Jannah oriented dan kami harus saling mengingatkan. Dan banyak hal lain yang saya bicarakan dengannya.. termasuk rasa tidak nyaman dan pokoknya semua yang terpikir untuk diobrolkan.

Sejak itu,saya tidak lagi membatin, "kok gini", "kok gitu" dan semacamnya. Dan inilah yang kemudian saya pelajari sebagai pelajaran pertama di kelas yang lama ini: komunikasi.

Sindangtamu, Rabu, 8 Februari 2023

Bersambung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh