Saya sedang seneng ngumpulin receh 500 an untuk disimpan di celengan. Celengan ini khusus untuk uang pecahan 500 rupiah, nggak boleh ada yang selain 500 an.
Celengannya dibuat dari botol bekas air mineral, trus dicatat dalam kolom-kolom kecil yang dibuat dalam buku catatan harian. Kolom itu di isi setiap kali saya memasukkan uang ke dalam celengan. Diwarnai dengan pensil warna nya de Olin.
Mencicil hutang pun sama, dicatat dalam buku catatan harian lalu diwarnai. Tujuannya sih biar lebih berwarna saja.
Ngobrolin hutang, saya punya hutang cerita tentang hutang yang tiba-tiba. Eh tiba-tiba lagi, padahal sudah di tulis dicatatan sebelumnya kalau tidak ada yang tiba-tiba. Hmm serasa tiba-tiba aja ya nulisnya 🤭
Jadi ada beberapa hutang yang sedang saya cicil pelunasannya. Ya tentu saja inginnya mah langsung cling lunas seketika semuanya, sekaligus tanpa ada yang tersisa. Namun dengan beberapa pertimbangan akhirnya kami memutuskan untuk mencicilnya dulu. Alhamdulillah dari sekian pos tanggungan hutang itu semuanya sudah semakin menyusut, yang tadinya berjumlah 0 nya enam dibelakang angka, sekarang tinggal 5 nol nya. Nah dari sekian hutang itu ada satu hutang yang menurut saya jumlahnya paling besar dan.. itulah hutang yang dirasa tiba-tiba itu. Apa alasannya?
Beberapa tahun yang lalu kami bekerjasama dengan seorang teman dalam suatu bisnis, kok kesannya asa gimana nulisnya bisnismah 🤭 ya udah bukan bisnis tapi kita bekerjasama dalam perdagangan, prinsip dagangnya pakai sistem kredit. Teman saya penyedia barang dan saya yang mendistribusikan.. qodarullah saya dititipi banyak sekali barang dagangan di rumah, termasuk tempat tidur, dan barang besar lainnya.
Hmm lanjut tuliskan atau nggak ya? Kok saya masih merasa berat menceritakan hal seperti ini? Sepertinya saya tunda lagi sampai merasa siap ya 😁
Intinya seorang yang nggak enakan itu nggak boleh menjalin bisnis dengan orang lain, karena berpotensi menjadi orang yang akan menanggung beban yang harusnya dipikul bersama atau bahkan dijadikan tumpuan kalau-kalau terjadi sesuatu. Dan saya si nggak enakan yang pernah dalam posisi itu hingga akhirnya harus menanggung beban hutang yang harusnya bukan sebagai hutang. Menanggung malu karena di cap punya tanggungan hutang, dan yang lebih berat justru rasa di hati sendiri, "tapi kan saya nggak pakai, kenapa saya harus menanggung semuanya sendiri?", "Kenapa dia nggak mau ngambil barang-barangnya lagi dan malah menjadikan itu sebagai hutang!" Bahkan suatu barang yang diikrarkannya sebagai hadiah untuk ananda kami pun ternyata masuk list yang harus kami bayar. Jumlah yang harus dibayarkan pun bukan sejumlah modal tapi sejumlah harga jual.. dan saya si nggak enakan yang harus menjual kemerdekaan dengan rasa tidak nyaman.
Tapi ya sudahlah, ini akan menjadi pelajaran paling berharga disepanjang kisah kami. Saya si nggak enak an yang sudah diwanti-wanti suami, "bukan seperti itu prinsipnya. Itu adalah beban dia kenapa dibebankan padamu? Atau minimal berbagi beban bersama."
Ah ya sudahlah .
Balananjeur, Rabu, 7 Juni 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar