Beberapa waktu lalu saya pernah menuliskan perkara Hutang yang terasa tiba-tiba saja, "tiba-tiba hutang." Saya pernah menyebutnya seperti itu, pernah ada perasaan kesal, marah, tapi tidak tahu cara mengekspresikannya karenanya hanya bilang, "ya udahlah," lalu memilih untuk mencicipinya selama sekian tahun dan biidznillah tepat pada tanggal 11 Agustus tahun ini hutang itu pun LUNAS.
Seneng dooong? Pastinya. Tapi masih kepikiran juga sih gimana kalau bulan depan masih ada yang nagih alias belum merasa hutangnya sudah lunas soalnya kelihatannya di pihak sana nggak ada catatan sama sekali, buktinya kalau udah Nerima uang teh yaaa udah go aja nggak ada acara catat mencatat. Eh tapi siapa tahu kayak saya yang mencatatnya kalau sudah masuk rumah, jadi kalau sudah muamalah baru lah di catat. Hanya masih ada kekhawatiran juga sih, soalnya dulu juga catatannya jadi gejlog alias di saya mah berapa tapi di sana lebih besar dari itu.
And why saya menuliskan di sini?
1. Meski ada sedikit kekhawatiran tapi saya bersyukur karena tidak lagi merasa di kejar bayangan punya hutang, pun hutang itu tidak saya anggap sebagai hutang. Ya atuh dalam berbisnis mah kalau ada apa-apa teh masa di tanggung semuanya oleh pihak marketing, apalagi sampai memasukkan data nya dengan harga jual pasaran, kan jadinya berat atuh nya. Berat untuk pihak marketing. Udah mah nggak dapat untung, eh malah dapat beban nutupi semua yang ..oke lah bolehlah kalau di bagi 2 beban nya.
Khawatir kenapa? Khawatir masih ada tagihan yang membuat saya berpikir untuk menyalahkan ingatan saya sendiri dengan kalimat semisal, "apa mungkin saya yang keliru, ya?" Dan pikiran seperti itu tuh kurang menyenangkan apalagi peluang kelirunya kecil karena langsung di catat setelah muamalah, pakai keterangan pula. Intinya saya sudah berusaha tidak melakukan kesalahan yang sama seperti dulu yang beberapa kali abai menyimpan catatan transaksi dan bersikap diam saat di minta menutupi yang dirasa nggelembung pisan.
2. Suatu saat anak cucu saya mungkin akan membaca catatan ini, saya ingin mengabarkan kepada mereka untuk lebih berhati-hati saat bermuamalah. Catat baik-baik setiap transaksi, jangan asal yes I will kalau di ajak berbisnis teh tapi harus dipikirkan matang-matang, trus buat kesepakatan hitam di atas putih tentang hal-hal yang berkaitan dengan bisnis tersebut termasuk tanggungan jika terjadi sesuatu yang di luar kendali eh harapan.
3. Agar saya ingat bahwa hutangnya sudah benar-benar lunas. Ini sebagai bentuk terapi penyembuhan juga karena perkara ini pernah sangat menguras emosi. Anak-anak kami pernah melihat catatan 'hutang' tersebut lalu bertanya kenapa kami tidak melunasinya segera tapi malah mencicilnya. Saya harus berhati-hati memberikan jawaban kepada ananda dengan rasa ingin tahu yang besar yang di saat bersamaan harus di jaga adab dan akhlaqnya.
Tapi, saya juga memilih berterus terang tentang asal mula hutang itu ada lalu menanyakan pendapatnya apakah cara kami keliru dengan cara mencicil seperti ini apalagi kami tidak memiliki uang sebanyak yang di minta pihak yang menitipkan barang.
Setelah mengetahui akar masalahnya ananda berpendapat bahwa kewajiban ini harusnya tidak sepenuhnya dibebankan kepada kami apalagi dengan nominal yang tidak sama antara catatan di kami dan di kawan saya tersebut.
Kenapa tidak ada ishlah terkait jumlah kerugian? Berapa keuntungan kami? Kenapa pihak pertama membebankan sepenuhnya kerugian karena barang yang tidak terjual atau mampetnya bayaran hanya kepada pihak kedua? Pertanyaan itu murni pertanyaan saya, namun lagi-lagi saya tidak memiliki jawaban karena saya pun memiliki andil dalam kekeliruan tersebut. Andil karena kurang teliti, respon yang kurang, dan manut saja saat tahu ada yang keliru.
Hikmah selanjutnya saya tuliskan nanti yaa... Mau beberes dulu buat berangkat ke sekolah.
Balananjeur, 21 Agustus 2023