Dulu sering banget berbagi cerita bab pengasuhan anak, tapi tidak terpikirkan bagaimana dengan respon orang -karena sekali lagi -saya senang bercerita. Bercerita proses membangun rumah atau bagaimana melalui masa-masa sulit atau hal-hal lain yang serasa masih aman untuk diceritakan.
Sampai suatu hari ada yang bilang,"aktif banget di media sosial." Awalnya nggak ngeuh maksudnya kemana, jadi yaa jalan terus saja, sampai kemudian di notice lagi,"ngeluh itu sama Allah, bukan di media sosial."
Tetep nggak ngeuh siiih, saya pikir kalimat itu bukan untuk saya 😂 jadi kalau ada waktu mah terus saja nulis dengan hastag #catatandefa . Sampai kemudian... Anak saya mengatakan kalau ada yang bilang gini sama dia, "Umminya aktif banget yaa ngeluh di media sosial."
Oalaaah... Kalimat itu ternyata untuk saya tho.. baru ngeuh tapi sempat bingung 😕 apakah tulisan saya seputar pengasuhan atau proses ngbangun rumah atau bagaimana melalui fase sakit atau hal-hal sulit termasuk proses mengeluhkan keadaan?
Kemudian saya scrolling semua tulisan saya... Namun masalahnya, setiap kali ngshare sesuatu itu sudah melalui proses pemikiran , "ini boleh di share atau tidak?" Kalau tidak maka tidak akan saya share, kalau sudah yakin banget aman (amannya sih memang versi sendiri 😂), baru deh di share. Jadi di scrolling lagi pun tetap saja merasa, "ah tulisannya masih aman kok ", tapi penasaran juga akhirnya nanya ke beberapa yang bisa memberikan penilaian yang insyaAllah amanah.
Sampai akhirnya menemukan alasannya, "ada tulisan yang dianggap menyinggung perasan orang lain."
Akhirnya saya yang biasanya nggak kepikiran buat mikir respon orang, mulai degdegan waktu mau nulis atau ngsahre tulisan sendiri. Karena saya biasanya menikmati tulisan orang lain tanpa banyak mikir, "ini kok kayak nyindir saya." Jadi sempat tidak nyaman saat tahu ada yang berpikir kalau tulisan saya ditujukan untuk menjatuhkan orang lain apalagi tidak ada pikiran sama sekali ke arah itu.
Saya pun mulai muhasabah diri, baper? Kayaknya iya banget. Merasa aman saja buat nulis ini itu, tapi pas tahu ada yang ngrasa kesindir kok lumayan bikin down. Saya mulai lebih sering nulisnya di blog pribadi yang peluang di baca orang lainnya dikit banget karena menghindari .. hmm kayaknya bukan menghindari membuat orang tersinggung deh, tapi nggak mau denger ada yang tersinggung ðŸ¤.
Trus ingat lagi kata suami, "apapun yang kita lakukan atau ucapkan, potensi bikin orang nggak seneng itu akan selalu ada. Trus karena orang nggak suka harus membuat ummi milih dieeem aja?" Saya jawab enggak, saya tidak suka diam karena alasan seperti itu. Jika harus diam maka itu karena saya yakin dengan pilihan itu.
Buat orang yang senang nulis, nggak nyaman banget deh kalau ada orang lain yang ngatur, "kalau nulis teh nggak boleh..."
Well, dapet support suami buat merdeka nulis 😂
Ngrasa dapat angin segar dooong dikasih support sama suami teh. Support untuk merdeka bersikap dan bersuara. Setelah sekian lama memendam perasaan, "kok aku harus jaga perasaan orang lain sih?" Tanpa berani bilang ke suami perihal ini. Setelah dia melihat isterinya mulai jarang nulis trus dia tanya, "kok isteriku jarang bikin jejak tulisan lagi?", "apakah kalimat yang ummi dengar dari orang lagi lain itu mengganggu ummi?" Mendapat pertanyaan seperti itu saja membuat hati plong..serasa difahami.
"Abi sering baca tulisan ummi dan menurut Abi nggak ada yang berlebihan dari tulisan ummi..." Sekian banyak kata membuat saya yakin untuk kembali menulis.
Saya senang menyimpan jejak dalam tulisan, seperti saat saya menulis kali ini, di sini.
"Aku boleh nulis seperti biasa?" Tanyaku memastikan
"Ummi selalu yakin dengan apa yang harus ummi lakukan dan Abi akan selalu mendukung ummi."
Happy? Banget.. MasyaAllah hadza min Fadhli Rabbi.
Catatan pertama tentang ini, insyaAllah menyusul catatan selanjutnya.
Balananjeur, 4 Oktober 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar