Tentang Bapak
"Inilah peluang saya menghaturkan bakti yang tidak sempat saya haturkan ke Apa saat Apa masih ada." Itu yang ada di pikiran saya saat mendapat kesempatan memiliki ayah mertua.
MasyaAllah, Bapak seorang yang sangat baik. Tak pernah sekali pun mengucap kata yang menyakiti atau memperlihatkan sikap yang membuat hati diam-diam meringis. Demi Allah yang setiap huruf yang tertulis kelak akan bersaksi dihadapanNya, tak pernah saya dapati Bapak melafalkan sedikitpun kata dan menoreh sedikitpun sikap yang menyakiti.
Bapak,
Beliau seorang ayah yang sangat baik. Menjeda kerinduan saya akan sosok ayah yang telah tiada..
Menerbitkan senyum kerinduan saya untuk menghaturkan bakti pada Ayah yang tak bisa kuhaturkan bakti padanya..
Untuk Bapak dan Emak, saya dan suami memutuskan untuk membersamai mereka di awal bahtera kebersamaan kami. Mengikuti nasihat baik Bibi Oti yang meminta kami untuk melepas sedikit penat Emak dan Bapak; Membantu pekerjaan rumah Emak. Meski saat itu semua akan menjadi hal baru yang boleh jadi membuat saya kelimpungan karena tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah, untuk kesempatan berbakti pada Ayah saya memutuskan mengabaikan rasa grogi.
Saya tidak bisa memasak apalagi di tungku kayu, saya tidak tahu cara terbaik membersihkan rumah, dan bahkan saya tidak tahu cara berinteraksi dengan Bapak dan Emak. Semua terasa mendebarkan bagi saya, membuat saya seringkali gemetar dengan khawatir..
Tapi inilah kesempatan saya untuk mencintai Ayah, bakti cinta saya pada Ayah yang tlah tiada..
Bapak terlihat menyukai masakan yang saya masak meski itu hanya oseng tahu, pindang goreng, tempe goreng, sayur sop atau gehu dan bala-bala.
Bapak juga menyukai menu acar ikan mujaer, sambal goang, kasreng tempe dan terutama bubur kacang.. MasyaAllah Bapak sangat menyukai bubur kacang.
Saya ingat hari itu hampir semua orang berangkat ke tanjung sari ke rumah baru kakak ipar saya, tinggallah saya dengan Umar yang masih bayi menemani Bapak yang qodarullah sedang sakit sejak lama.
Saya pijit kaki Bapak dan tanyakan perasaan Bapak. "Bapak sakit pisan nya Bapak?" Tanya saya. Bapak hanya tersenyum.
"Bapak, kang wawan sapertos kumaha nuju alitna?" Saya tanyakan pada beliau seperti apa masa kecil suami saya dalam ingatan beliau. Hari-hari itu hampir setiap hari Bapak bercerita tentang masa kecil suami saya, dan hari itu saya sendiri yang meminta beliau bercerita. Saya merasakan kerinduan yang sangat disana, saya meyakini semua anak istimewa bagi orang tuanya dan tak pernah memandang dengan pandangan berbeda antara satu dengan lainnya, tapi hari-hari selama sekian bulan sebelum Bapak pergi Allah beri saya kesempatan melihat sudut mata beliau berkaca saat melafal kisah masa kecil suami saya. MasyaAllah hening sekali cintanya..
Bapak menghabiskan seporsi sayur sop yang saya buat untuk beliau, memberikan catok kuku meminta saya memotong kuku beliau (saya punya cerita tersendiri tentang Bapak dan catok kuku nya). Beliau juga menghabiskan semangkok kecil bubur kacang yang saya buat.. Saya tersenyum bahagia hari itu.
Berat bagi saya saat itu untuk meninggalkan Bapak, saya ingin menunaikan bakti yang saya azzamkan pada Apa melalui Bapak.. Meski hanya hari itu peluang satu hari penuh saya bisa bersama Bapak. Tapi saya ingin sekali membelikan makanan untuk Bapak, saya ingin membelikan bubur kacang yang menurut saya sangat enak dan ingin sekali saya haturkan untuk Bapak.
"Bapak, sawios abi ka ciawi heula sakedap?" Berat hati saya minta pendapat Bapak. Khawatir harus meninggalkan Bapak sendirian di rumah.
"Aya naon di Ciawi, Nyai?" Tanya Bapak
"Aya bubur kacang nu raos, Abi hoyong meser bubur kacang kanggo Bapak. Abi oge hoyong meser buah Apel, buah Anggur, buah pear sareung roti coklat kanggo Bapak." Hari itu di pagerageung tidak ada toko buah yang menyediakan buah pear, anggur dan pear. Tidak ada tukang bubur kacang atau toko khusus roti yang saya maksud.
"Ieu atuh duitna ti Bapak!" Bapak menyodorkan 3 lembar uang 20 ribu an.
"Teu kenging, Bapak. Abi hoyong mangmeserkeun kanggo Bapak. Ieu artosmah masih aya da." Saya tahu uang yang ada di dompet saya pasti hanya cukup untuk ongkos PP pagerageung ciawi, 2 porsi bubur kacang, 1 bungkus roti, 1 apel, 1 pear dan sedikit anggur.. Tapi saya ingin sekali membelikan itu dengan uang saya sendiri.
Setelah membujuk Bapak untuk menyimpan kembali uang beliau, akhirnya saya berangkat ke ciawi. Berdua dengan Umar yang masih bayi.
Setelah membeli bubur kacang, buah pear, buah apel, buah anggur dan roti.. Qodarullah saya lihat ternyata ada beberapa rupiah uang di dompet kecil tempat saya menyimpan uang koin. Ingat Bapak menyukai snack rasa keju yang pernah suami belikan, saya langsung belikan itu juga untuk Bapak. Terlintas di benak saya, Bapak akan senang mendapati ini..
Saya langsung pulang dan mendapati Bapak sedang duduk di papangge depan rumah, "Bapak ngadagoan Nyai bisi kunanaon." Aduhai hati, ingatan ini kini membuat saya menangis tersedu..
Saya cium punggung tangan beliau dan minta maaf karena meninggalkan beliau sendiri selama 1 jam lebih. "Hapunten abi ngantunkeun Bapak. Hatur nuhun tos ngantosan abi sareung ngahawatirkeun abi." Alih-alih meminta maaf membuat beliau khawatir, saya justru berterima kasih atas perhatian itu.. Cinta Ayah selalu terasa hening tapi penuh makna.
Ingatan itu..
"Bapak, abi ka lebet ngabobokeun heula adik Umar nyaa! Bapak bade calik di dieu atanapi istirahat di bumi?" Bapak memilih duduk di papangge, katanya ingin menunggu Emak pulang disana.
Setelah menidurkan Umar kecil saya ke dapur mengambil mangkok dan menuangkan bubur kacang, mencuci buah-buahan dan menyiapkannya untuk Bapak. Roti dan snack nya sudah saya berikan sebelum saya menidurkan Umar. Dari kaca ruang makan saya lihat Bapak menyimpan snack dan roti dalam keresek hitam, tersenyum memandang bungkusan itu. Entah kenapa hati saya bahagia bercampur sedih.. Seolah tak kan lama saya bisa melihat senyum itu. Saya terisak sejenak, "ya Allah Engkau Maha Tahu isi hati hamba. Sayangi Bapak dan Apa yaa Allah."
Akan bakti yang sekedarnya bahkan mungkin amat sangat kurang, ingatan hari itu membuat saya menangis kembali..
"Keur Nyai na mana?" Bapak bertanya-tanya saat melihat saya hanya membawa satu mangkok bubur kacang.
"Abi mah tos ngaemam. Tos wareg, Pak!"saya tidak bermaksud berbohong, karena saya memang sudah makan bubur kacang yang saya buat sendiri di pagi hari tadi.
"Ieu atuh dia keun deui keur Nyai."
"Sawios Bapak, ieu kanggo Bapak. Geura tuang! Ku Abi disareungan didieu ngantosan Emak!" Bapak tersenyum, ah.. Emak pasti memiliki tempat yang sangat istimewa di hati Bapak. Namun sekali lagi, cinta itu hening..
Saya melihat cinta itu, rindu itu.. Di senyum Bapak hari itu..
Maa Syaa Alloh..
BalasHapusAllohummaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu.
Insyaalloh menjadi Ahlul Jannah..
MaasyaaAlloh
BalasHapusAllohummaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu
Insyaalloh menjadi ahlul jannah