Saat sulung memberi ide untuk menyimpan semua buku yang ada dirumah ini di masjid, mewakafkannya untuk ummat. Hati saya masih diliputi kesulitan melepaskan, sampai memori saya bertemu kondisi yang sama di 23 tahun yang lalu, saat apa mengajak saya membereskan buku untuk di wakafkan ke beberapa pesantren.
*****
"Apa, buku-buku ini mau kita kirim ke mana?" tanya saya suatu hari sambil menahan isak yang berdesakan dengan hati yang sesak karena harus membungkus buku-buku tafsir dan beberapa kitab berbahasa arab apa untuk di sumbangkan ke beberapa pesantren di pagerageung.
"Malam ini, dede ikut apa ke pesantren a dan pesantren b, c. Kita berikan ini untuk pesantren2 itu."
Saya melanjutkan membereskan buku-buku yang yang akan apa berikan pada beberapa pesantren yang di maksud.
Dua rak buku beralih ke kardus. Air mata sudah tak mampu saya bendung, bukan airmata bahagia karena bisa berbagi seperti biasa apa ajarkan. Tapi airmata sedih karena koleksi buku yang berkurang.
Bagi saya waktu itu, buku adalah sesuatu yang paling berharga. Dan saat sesuatu yang paling berharga harus pergi atau terpaksa ditiadakan, itu seperti menaruh paku panas di hati, sakit rasanya..kurang lebih seperti itu. Meski saya tak tahu rasanya ditusuk paku panas 

Seolah memahami kegelisahan hati saya, apa mengusap kepala saya dan mengatakan,
"Buku-buku ini akan lebih bermanfaat jika ada di pesantren, di baca ustadz dan para santri. Mereka nanti mengajak ummat dengan ilmu yang mereka dapat dari kitab ini, mereka amalkan. Memberikan sesuatu untuk islam harus yang terbaik, itulah cinta kita kepada Alloh.
Dede nanti ku apa dibelikan buku baru lagi."
Apa yang saaangat jarang berbicara panjang lebar denganku, hari itu menunjukkan empati nya dan memberiku ilmu baru yang entah kenapa membuat hati saya bersorak senang mendengarnya.
Bukan karena maksud ucapan apa, tapi saat saya bisa merasakan empati apa lewat belaian dan ucapannya.
Bagi saya yang waktu itu masih berusia 9 tahun, sangat sulit rasanya jika harus memberikan sesuatu yang terbaik yang kita miliki meski itu fii sabiilillah. Karenanya, empati apa menjadi kebahagiaan yang paling utama.
Hingga akhirnya dikemudian hari barulah saya memahami maksud apa. Apa itu berinfak di jalan Alloh? Kenapa harus yang terbaik? Dan...saya mensyukuri saat itu apa bukan hanya sekedar bertanya pendapat saya untuk memberikan buku, tapi beliau juga memberi pemahaman tentang alasannya dan bahkan mengikut sertakan saya mendistribusikan buku2 tersebut pada beberapa pesantren yang di tuju.
Seminggu kemudian apa memberiku buku,"kisah seribu satu malam." dan "kedermawanan Abu Bakar Rodiyallohu 'anhu."
Beliau tidak memberikannya langsung pada saya.
waktu kebersamaan kami dan apa tidak seperti kebanyakan keluarga yang lain, apa tinggal di bandung dengan beberapa kakak saya yang sekolah disana. Kamis dan jum'at pulang ke tasik, family time... itupun terpotong untuk berdakwah dan silaturahmi.
Kesibukan apa tersebut, atau mungkin beliau lupa memberikan langsung saat kami semua berkumpul hingga membuat beliau tidak bisa memberikan buku itu langsung pada saya, beliau menyimpannya di rak buku yang ada di kamar saya.
Atau mungkin, beliau sengaja memberikannya dengan cara seperti itu..hee
Tak ada note,"untuk putriku sayang." dan semacamnya seperti yang biasa saya lakukan saat memberikan hadiah untuk ufa atau olin. Tapi sekali lagi, entah kenapa hati saya merasa bahagia.
Ternyata, bukan hanya ucap yang bisa membuat seorang anak bahagia. Bahkan tanpa sepatah kata pun, jika niatnya tulus, akan sampai pada hatinya juga.
Pada akhirnya saya bersyukur pernah 'memaksa hati' membantu apa menyampaikan amanah itu.
Semua yang kita miliki hanya titipan, bukan??
Hatur nuhun apa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar