Minggu, 22 Agustus 2021

Di Lorong Ini

         Sepanjang lorong ini terasa sepi padahal sebelum aku masuk ke ruangan bercat putih  dengan jendelanya yang besar itu lorong ini dipenuhi banyak orang, banyak antrian pasien yang menunggu dipanggil untuk diperiksa.

          Ku seka sepanjang koridor dengan ujung netraku, hening menyapa erat seolah hanya aku dan laki-laki yang tengah menatapku dengan sorotnya yang sendu disini.

          Laki-laki itu membentangkan dua tangannya bersiap merengkuhku dalam dekapan, isak perlahan menggema memenuhi isi ruang. Rasa takut dan khawatir mulai memenuhi seluruh urat nadi, adakah yang menghantui hati seorang ibu selain dari keselamatan anak-anaknya?

          Terngiang pernyataan lelaki berjas putih dengan stetoskop di tangan yang sekarang masih berada di balik dinding ruang di depanku itu, bersiap menunggu keputusanku, “Teteh, ini untuk kebaikan teteh, bayi ini harus segera dilahirkan!”

          “Lalu bagaimana keadaannya, dok? Bagaimana keadaaan bayi saya?” Aku tahu bahkan aku harus pedulikan keadaanku sendiri, tapi yang terpikir dibenakku hanyalah bayi yang selama 32 minggu ini mengisi rahimku. Aku tidak sanggup membayangkan dia dipaksa keluar hanya karena aku apalagi menurut hasil pemeriksaan berat badan bayiku belum cukup aman dan bahkan berpotensi menjadi bayi dengan kelemahan fisik, hal terburuknya adalah hanya salah satu dari kami yang dapat bertahan.

        Tangisku semakin menjadi, aku menangis sangat keras seolah berharap segala gundah akan hilang menguap bersama air mata yang luruh. Laki-laki didepanku memelukku semakin erat tanpa berucap sedikitpun. Dadanya mengguncang dengan mata yang memerah duka, jika aku khawatir keselamatan anak yang masih belum dapat ku lihat lain halnya dia yang justru mengkhawatirkan keselamatanku. Aku tidak tahu diksi paling tepat untuk meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja, tangisku semakin pecah mengingat duka yang ia pendam dalam diam.

          Satu, dua. Dua jam lebih kami dalam isakku di lorong ini, tanpa kata hanya suara isak beradu dengan lirih orang berbincang dibalik ruangan didepanku.

          “Aku tidak mau bayi ini terluka.” Ucapku pelan. Dia mengusap kepalaku yang ditutupi jilbab navy dengan lembut. Dia tidak berusaha menyela namun hanya membiarkanku menumpahkan kata demi kata yang berkecamuk di dasar gelisah.

          “Katanya, dia akan jauh lebih terluka jika ia masih berada di sana. Namun, ia juga menjadi bayi yang rentan saat ia dilahirkan sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Aku takut.” Sungguh saat ini yang kurasakan seputar rasa takut dan khawatir, menguraikannya dengan tangisan dan pengakuan menjadi caraku meleraikannya Aku pun khawatir yang kurasakan akan berpengaruh pada bayiku nanti.

          Hatiku berkecamuk resah, aku takut salah mengambil keputusan namun aku juga ingin lari dari kondisi ini, aku menyesal datang ke tempat ini disaat aku bisa diam bertahan dengan segala sakit selama ini.

          “Kondisi kesehatan teteh semakin melemah, teteh boleh mengatakan ataupun merasa teteh baik-baik saja. Tapi ini sangat berpengaruuh pada bayi teteh.” Aha, dia pandai menyentuh sisi keibuan dengan mengingatkan potensi luka yang hadir pada si bayi, itu cukup mengusikku.

          “Persentase peluangnya?” Padahal hidup tidak melulu tentang peluang dan kemungkinan, harusnya tidak kutanyakan hal seperti itu kalau tidak ingin terluka, namun tetap saja kutanyakan dengan alasan sebagai pertimbangan.

          “ InsyaAllah akan kami usahakan yang terbaik.” Jawaban itu cukup absurd bagi seseorang yang sedang mengais gelisah sepertiku.

          “Berapa dok?” aku masih mengejar dengan pertanyaan yang tak perlu. Seorang ibu akan bersikap tidak biasanya dan berusaha melakukakn apa saja dan mencari segala kemungkinan yang bisa menyelamatkan buah hatinya bahkan saat si buah hati masih berupa janin yang bersemayam di rahim.

          “Keselamatan ibunya adalah yang utama.” Ini jawaban yang paling tidak ingin ku dengar, sekuat apapun aku berusaha untuk tegar dan tidak menampakkan sakit, aku kalah dengan kalimat itu, aku terpuruk untuk sesaat merasa semua yang dilakukan akan sia-sia kalau toh satu hanya aku yang diprioritaskan. Bagaimana dengan bayi mungil yang kucintai lebih dari diriku sendiri? Aku tidak ingin kehilangan dia demi mempertahankan kehidupanku sendiri.

          Setelah sekian lama berkawankan bimbang, air mata pun seolah mengering dan aku tidak memiliki tenaga untuk menangis ataupun berkata-kata. Energiku seolah habis, aku pun memilih menyandarkan punggung ke dinding dibelakang kursi tempatku duduk saat ini. Laki-laki di depanku membuka tas punggungnya denga satu tangan sedang tangan lainnya masih menopang kepalaku, dia mengambil botol berisi air mineral lalu membukanya dan menyodorkannya ke arahku, ya se resah bagaimanapun aku harus tetap minum. Aku pun minum beberapa teguk air mineral yang cukup untuk menyeka tenggorokan yang kering usai menangis.

          Dia kembali menutup botol air dengan tutupnya dan menyimpannya tepat disampingku, tak ssepatahpun kata diucapkan. Hanya wajah yang pucat masih bisa ku lihat darinya, ia berwajah pucat saat berduka. Ada bening di pelupuk matanya, dia pun sama berdukanya denganku.

          Ku ambil nafas pelan berusaha menenangkan pikiran dengan cara itu, setelah beberapa menit berlalu aku pun mulai menemukan energiku kembali, “Antar aku ke masjid, aku belum shalat dzuhur!” Aku baru ingat kalau aku belum shalat,

          Dia berdiri dan memapahku ke masjid yang terletak beberapa meter dari tempat kami duduk, mengantarku ke tempat wudhu hingga menungguiku. Dia sendiri sudah mendirikan shalat saat aku berada di ruang pemeriksaan beberapa jam yang lalu, jam sudah hampir masuk waktu Ashar namun aku baru mau melaksanakan shalat dzuhur, ah pantas saja hatiku diselimuti resah karena ternyata ada shalat fardhu yang belum ditunaikan.

          Aku sengaja memanjangkan sujudku meminta padaNya membantuku menyelesaikan urusanku, kembali menangis namun kali ini tangis pengharapan pada sang pemilik kehidupan. Usai shalat aku berdzikir dan merenung cukup lama, membiarkan diri berkomunikasi menghiba padaNya.

          Sejak awal aku sudah tahu kondisi kesehatanku di uji dengan penyakit yang lumayan berat, masalah jantung dengan autoimun cukup berat untuk seseorang dengan gangguan lambung kronis, dokter pun sudah mengatakan kalau kehamilan dan persalinan normal sangat beresiko untukku. Tetapi setelah dua kali melahirkan dan baik-baik saja, kupikir aku memang baik-baik saja meski memang hampir setiap waktu aku merasakan sakit diubuhku semakin menjadi. Aku bahkan semakin sering merasa sesak dan kehilangan kesadaran, tapi aku berusaha menutupinya dengan berusaha terlihat baik-baik saja meski aku tidak bisa membohongi diriku sendiri dengan sakit yang kurasakan.

          Berat badanku turun setiap harinya sampai-sampai dokter setengah bergurau mengatakan kalau aku tetap seperti ini maka artinya aku tidak menyayangi anak-anakku. Oh iya ini persalinan ketiga ku ssetelah dua kali sebelumnya melahirkan dua anak laki-laki dengan jarak kelahiran masing-masing  2 tahun, sulungku saat ini berusia 4 tahun, anakku yang kedua berusia 2 tahun dan sekarang aku sedang menantikan anak ketiga yang diprediksi perempuan. Bayi ini akan menjadi bayi perempuan pertamaku, aku sangat ingin bertemu dengannya dalam kondisi terbaik, kondisi terbaikku dan kondisi terbaiknya. Ah, airmataku kembali luruh.

          “Robbana, lapangkan hati atas apapun keputusanmu!” aku mulai memasrahkan diri. Aku takut memilih berdasar ego semata tanpa memperdulikan hal-hal lain yang harus diprioritaskan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh