Kamis, 19 Agustus 2021

Surat Untuk Aufa (1)

Nulis suratnya sudah sejak tanggal 7 Muharam tapi baru beres hari ini 🤭 Rencananya memang tanggal 9 Muharam tapi tiba-tiba ingat ada kaos kaki teteh yang tertinggal. Buka storage kaos kakinya yang sudah 6 bulan tidak pernah dibuka, ambil 3 kaos kaki teteh dan saya putuskan untuk mencucinya dulu sebelum nanti dikirim. 

Qodarullah kemarenteh cuacanya mendung dan kaos kaki masih basah. Pas Abang yang kebetulan masih sakit nanya, "kita kirimkan paketnya sekarang ya?"

Saya menggeleng pelan, "kenapa? Ummi sudah tulis surat cintanya kan?" Lanjutnya dengan pertanyaan lainnya, dia memang sering menyebut surat yang saya tulis sebagai surat cinta.. Oh so with me 🤭

"Kaos kaki nya masih basah."

Mungkin bukan perkara besar, tinggal beli yang baru lalu kirim pasti lebih cepat tapi kami memilih mengirimkan yang sudah ada. Baiklah kondisi hari-hari ini memang harus serba memilah, dampak pandemi menjadi ujian yang sangat luar biasa. 

 
InsyaAllah setelah dirasa yang tertinggal hanya endapan yang baik lanjut di print out. Berkirim surat, bicara langsung ataupun dengan sikap akan menjadi warisan peradaban bagi anak-anak kita. Mengendapkan tulisan tidak hanya berlaku bagi penulis yang akan memublish bukunya di media cetak atau elektronik namun juga bagi seorang ibu yang akan mengirimkan surat cinta untuk buah hatinya. 



Nangis lagi waktu ngprint surat teh. Teteh bilang kalau hal pertama yang dia cari saat kami mengirim paket adalah surat dari Ummi jadi tiap kali nulis surat buat teteh teh bawaannya happy pisan. 

Happy kok nangis? Ekspresi cinta ibu mah salah satunya nangis saat bahagia, saat sedih juga nangis. Lebih banyak bertemankan air mata terutama untuk tipe yang mudah nangismah 😁

Pernah suatu hari pas ngirim paket teh suratnya lupa nggak dimasukkan ke dalam paket, "teteh nyari suratnya, tapi nggak ada. Teteh cari lagi siapa tahu terselip atau kasumput-sumput tapi tetap nggak ada." Raut sedih terlihat jelas di dua matanya. Sejak saat itu kami pasti cek lagi lebih teliti paket yang mau dikirim karena khawatir suratnya ketinggalan. 

"Kok sedikit?" Tanya Abang saat melihat 8 lembar print an surat, beliau tahunya saya nulis sampai 10 lembar. "Di ganti jadi calibri 11,Bi. Eh ternyata jadi muat 8 lembar. Padahal tadi di TNR 12 sampai 10 lembar." 

Surat itu bukan tentang berapa lembar tapi tentang ingatan, saya ingin dia tetap merasakan kehadiran saya meskipun kami terpisah jarak. Surat juga tentang apa yang ingin kita sampaikan, kebaikan seperti apa yang sedang coba kita tanamkan. 

Amplopnya pakai zipper bag inimah soalnya lumayan tebal. Wanita itu punya kecerdasan berbahasa (bicara) lebih dari laki-laki 😁 Tapi karena saya (Aufa juga sama) bukan tipe yang nyaman ngobrol di telepon jadi ngobrol via surat teh opsi paling nyaman untuk kami berdua. 

Cemilan yang nggak boleh di kirim teh diantaranya Mie Instan sama yang lada-lada. Karena kami dari kampung jadi nu dikirimkeunna oge nya sabangsaning kiripik dan beberapa cemilan yang kami beli dari warung teh Nunuy. 


Kami mengirim paket melalui indah cargo, biayanya terhitung ringan. Per 11 kg teh sekitar 42rb jadi sekitar 3900 an perkilo. Tadi paket kami 8,5 kg an. Sudah nyaman kirim via indah cargo, beberapa kali ngirim selalu cepet nyampe lebih cepat dari perkiraan. Perkiraan 3 hari, MasyaAllah sehari sudah nyampe. Dan buat ibu-ibu mah terutama biayanya yang ramah di saku. 

Ayah yang selalu merasa harus dia yang ngpackaging di sesi terakhir. Setiap Akang ekspedisi mau bantu selalu bilang, "sebentar yaa!" Dia selalu harus menjadi yang membungkuskan sampai selesai. Seperti saya yang senang menyiapkan, dia juga senang menyiapkan ini untuk putrinya dengan caranya. 

Diperjalanan pulang dari Indah Cargo mampir dulu ke pom bensin buat beli bensin, MasyaAllah lihat bis ini langsung nangis. Biasanya naik bis ini tiap kali menjenguk teteh ke Bogor.. Kangen MasyaAllah 🥺

Balananjeur, 10 Muharam 1443 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh