Kamis, 19 Agustus 2021

Surat Untuk Aufa (2)


Dua tahun yang lalu saat Aufa mau berangkat ke asrama, saya katakan padanya kalau saya akan sering mengiriminya surat agar dia tidak merasa ditinggalkan bundanya. 

Namun bukan hanya itu maksud saya, karena meski berjauhanpun hati kami akan tetap terpaut bahkan meski tanpa sepucuk surat. 

Saya meyakini bahwa ada doa yang mengikatkan hati selain kenangan dan ingatan antara ibu dan anak. 
Saya meyakini bahwa perjalanannya mencari ilmu tidak akan membuatnya merasa ditinggalkan. Namun waktu itu itulah yang saya katakan padanya, agar dia tahu bundanya selalu ada untuknya. 

Saya ingin mengajaknya menulis dan membaca, itu salah satu alasan saya mengiriminya surat. 
Saya meyakini bahwa peradaban suatu bangsa dimulai dari kecintaan akan ilmu, dan tidak ada kecintaan akan ilmu tanpa membaca dan menulis. 

Saya mencintainya dan berharap dia menjadi sebaik-baik dirinya sendiri, saya ingin dia melihat keseluruhan dirinya dan menemukan versi terbaik dirinya dengan mengajaknya banyak menuliskan jurnal hariannya sendiri. 
Tidak perlu membuat kisah lain, cukup tuliskan kisahnya sendiri, isi hatinya, pengalamannya dan apapun yang dia pikirkan atau harapkan. 

Para ulama menulis banyak kitab, saya ingin mengajaknya menulis untuk belajar sedikit demi sedikit agar kelak ia bisa mewujudkan harapannya untuk menjadi pewaris para ulama. Bukankah menjadi pewaris para ulama itu salah satunya dengan banyak menulis? 

MasyaAllah , Aufa mungkin belum tahu maksud saya sering mengirimkan surat dan meminta dia menulis surat. InsyaAllah suatu saat dia akan memahaminya. 

Surat juga menjadi salah satu sarana untuk saling menguatkan dan transfer kebaikan terutama bagi yang berjauhan. Saya memberinya buku diary dan meminta dia menuliskan jurnal hariannya sendiri. Saya katakan padanya bahwa suatu saat catatan dalam diarynya akan membuatnya tersenyum. Dia menyangka senyum itu karena kenangan yang ia baca di diary, tapi sebenarnya bukan hanya itu maksud saya, saya ingin mengajaknya menulis tanpa membuatnya merasa didikte saat menulis.

Saya ingin dia senang menulis dan disiplin dengan itu. Suatu saat dia akan tersenyum saat menyadari bahwa yang dia lakukan hari ini bermanfaat untuknya dikemudian hari. Saya tidak memiliki materi berlimpah untuk diwariskan, tapi saya percaya bahwa setidaknya saya bisa mengajaknya melakukan sesuatu yang baik untuknya, untuknya dimasa depan; esok di dunia dan kelak di akhirat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh