Senin, 13 September 2021

Masjid Kita

Dulu, belasan tahun yang lalu, ah bukan, tepatnya 23 tahun yang lalu (atau lebih) disana, didekat pohon yang kini sudah semakin besar di area kosong yang 23 tahun lalu itu berisi kolam ikan mang haji Abu Bakar. 
Kami duduk melingkar diatas tikar disana.

Bersama angin sepoi dari padi di pesawahan serta daun-daun talas, dipayungi daun-daun pisang dan kelapa yang berjajar disepanjang kolam yang terletak tepat disamping kanan masjid Al Furqon.

Bersama gemericik air sungai yang terletak beberapa meter didekat kami biasa melingkar,  berbagai macam ikan yang berenang kesana kemari dengan riang, capung-capung serta burung-burung pipit dan kupu-kupu yang hilir mudik mengikuti lantunan tilawah kami sepanjang pagi atau sore hari.

Hari yang indah dimasa kecil ..

Melantunkan kalamulloh, menyimak kakak-kakak kami yang seketika bermetamorfosa menjadi pembimbing belajar kami, meniti setiap kalimat yang tertulis di buku yang kami baca, memetakan mimpi-mimpi yang akan kami bangun di masa depan.

Ah, masa kecil yang selalu terasa indah namun berurai airmata saat dikenang.

Ada yang impiannya terwujud, ada pula yang tergantikan impian lain, ada yang terlempar jauh dari cita-citanya, namun semuanya tetaplah selalu yang terbaik yang harus terjadi, meski terkadang hati menciut mengenang impian yang tidak menjadi nyata.
Taqdir Allah selalulah yang terbaik.

Ada yang kini menjadi dokter, guru, bidan, pedagang, pengusaha, ibu rumah tangga dan masih banyak lagi.

Dan ketika saya yang kemudian menjadi ibu rumah tangga, saya meyakini ini hal terbaik yang Allah taqdirkan untuk saya.

Sesaat yang lalu saat saya kembali merasai aroma dedaunan dan mengingat masa kecil disana, saya menyadari arti bahagia yang lain. bahagia salah satunya adalah saat kita menyadari bahwa kita memiliki masa kecil yang bisa kita kenang.

Mengenang masa kecil selalu diikuti air mata yang menganak sungai dan hati yang berdebar.. 

Dulu,
Di sana kami bercanda sebagaimana candaan anak-anak seusia kami waktu itu. 
Ah sebenarnya bukan kami, tapi teman-teman saya. 
Saya yang pendiam dan hanya mengerti cara membaca buku hanya diam menekuni baris demi baris huruf yang ada di buku sambil sesekali tersenyum menyimak candaan teman-teman saya.

Saya tidak merasa kesepian meski saya sendirian dengan buku yang saya pegang, saya juga tidak merasa diabaikan karena itu adalah pilihan saya.
Saya malah akan merasa pusing kalau tidak bisa membaca buku dan hanya diam mendengarkan teman-teman saya sedangkan saya tidak cukup mahir dalam melemparkan atau menjawab candaan. 

Duhai masa kecil, mengenangnya hati dipenuhi tanya, benarkah kisah itu pernah ada??

Tulisan ini di catat beberapa tahun yang lalu. Dituliskan kembali hari ini, tepat adzan Isya yang dikumandangkan mang Dadan dari speaker masjid Aki Aja, malam selasa, 13 September 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh