Apalagi sekarang, bahkan zamannya teteh Aufa di MI mayoritas teman dan adik kelasnya bawa bekal 5 ribu ke atas, teteh sendiri dikasih uang sakunya 3 rb perhari. Per hari, bukan perwaktu. Menurut bunda-bunda lain, anandanya diberi uang saku minimal 5 rb untuk ke sekolah, sekian ribu saat ke diniyah dan sekian ribu saat ngaji sore.
MasyaAllah saya takjub pisan soalnya saya tidak pernah memberi lebih dari 3 ribu itupun biasanya jarang dijajankan. Aufa dan dua kakaknya selalu menyisihkan uang sakunya untuk dimasukkan ke kotak amal, celengan atau sering beliin umminya oleh-oleh.
Jadi kepikiran 3 ribu aja cukup apalagi yang diatas itu pasti nabungnya banyak 🤭.
"Jangan perhitungan sama anak, kita itu kan nyari uang buat anak!" Komentar seseibu waktu itu.
Saya kurang sependapat, membatasi uang jajan bukan berarti perhitungan tapi karena saya menyayangi mereka (selalu ada ruang pembenaran 😅). Dalam konsep mencari nafkah untuk anak istri pun saya kurang sepakat kalau dikatakan bahwa mencari nafkah itu buat anak atau istri.
Mencari nafkah itu untuk ibadah, mencari ridha Allah, dan salah satu kewajiban suami/ayah itu menafkahi istri dan anaknya. Namun ada haq harta (sebesar atau sekecil apapun) yang harus tetap dipenuhi. Jangan karena fokus buat anak ngasih jajan sebesar gunung buat anak sampai lupa ada hak dalam harta yang Allah titipkan itu.
Ada hak saudara kita dalam harta kita, ada hak kaum muslimin yang harus ditunaikan.
Oh ya kembali ke cerita Olin pagi ini, bibirnya mengerucut ingin uang sakunya 5 rb, "Buat apa, Nak?" Tanya saya.
"Pengen bawain ummi oleh-oleh." MasyaAllah de, niat yang luar biasa.
"Kalau pengen ngasih buat ummi mah cukup dengan tidak minta uang saku lebih, sayangku." Abinya ikut menimpali.
Netranya basah, saya tahu dia tidak pernah merasa harus bawa bekal uang saku sebesar teman-temannya tapi kali ini dia hanya ingin berbuat baik dengan membawa oleh-oleh buat ummi 😍
Balananjeur, 2 September 20w1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar