Ini sambungan kisah sebelumnya ya sahabat, saya membuka diary lama guna mengetahui apa yang saya rasakan dal lakukan saat itu.
Waktu itu Mamah menangis sampai hampir pingsan, sebabnya beliau terluka karena putrinya dighibahin.
"Mamah, abi teu kunanaon." Saya mencoba menenangkan Mamah, tapi Mamah tetap merasa tidak tenang dan menangis. Saya tidak pernah melihat mamah menangis karena saya seperti tangisan mamah waktu itu, saya berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh namun akhirnya saya terpengaruh juga.
Sebabnya apa? Saya merasa sudah menyakiti Mamah dan itu melukai perasaan saya. Sungguh selama ini saya berusaha menjaga agar tidak melukai mamah baik oleh ucapan maupun tindakan namun hari itu melihat mamah menangisi saya membuat saya merasa sudah melukai mamah.
Sungguh luar biasa efek ghibah, meski yang dighibahin baik-baik saja akan lain halnya dengan Ibu yang melahirkan orang yang dighibahin, tetap akan ada yang mengais luka dan bahkan menangis karenanya, dialah ibu. Efek ghibah lainnya membuat orang yang dighibah berpikir tlah melakukan kesalahan hingga membuat ibundanya menangis. Oh hey, siapa yang menciptakan luka siapa yang merasa bersalah..
Dibelakang Mamah sayapun mulai menangis, menangis sedih, kesal dan marah.
Saya sedih melihat Mamah menangis.
Saya kesal karena merasa ada urusan apa mereka mengghibah saya.
Saya marah karena tak ada tabayyun dan yang ada hanya jari telunjuk menukik tajam.
Ceritanya luar biasa..
Tentang saya yang katanya cuek dalam mendidik anak, bentuk cueknya adalah membiarkan anak-anak guyang disawah.
See, apa hubungannya guyangnya anak-anak dengan mereka? Apakah itu mengganggu mereka? Ini adalah bagian dari cara saya mendidik anak-anak, membiarkan mereka guyang.
Katanya anak-anak beginilah dan begitulah, hati saya mulai bergejolak.
Dan yang paling membuat saya tidak nyaman adalah adanya jari telunjuk atas suami saya saat ada yang mengatakan Emak pernah menangis karena suami. Adakah ibu yang tidak pernah menangis karena anaknya? Tanpa tabayyun alasan Emak menangis mereka langsung mengangkat telunjuk dan mengatakan "Anak durhaka." Sebagai titel yang tepat bagi anak yang membuat ibunya menangis.
Menangis karena apa? Alasan apapun itu tidak diperlukan yang ada hanya statemen yang menurut saya sangat jahat sedangkan Emak bukan menangis karena dilukai tapi tangis ibu untuk anaknya. Untuk artinya cinta, itu tangis cinta. Adakah yang belum pernah melihat Ibunda yang tidak pernah menangisi anandanya?
Akhirnya saya terpengaruh, hati saya merasakan luka dighibahin..
Inginnya konfirmasi kepada semua yang hadir di forum yang nama saya dijadikan bahan curhatan itu (curhatnya bahasa lain dari ghibah), tapi apa pentingnya, saya sudah tabayyun pada beberapa orang dan mengakui adanya situasi itu, itu cukup untuk mengatakan bahwa kabar itu benar adanya. Kabar bahwa saya bahan ghibah dihari itu, disana, adalah benar.
Semalaman saya menangis, saya tidak menangis didepan mamah ataupun orang lain. Tapi saat menyendiri, akhirnya air mata pun luruh. Saya menangis entah karena apa, berpikir bahwa setelah menangis maka kondisi hati akan kembali membaik.
Terpikir bagaimana seandainya lisan saya sendiri yang ngghibahin orang lain, pasti akan sangat melukai dan bukan tidak mungkin menghancurkan harga diri dan membunuh karakternya karena kalimat buruk yang terucap, kalimat istighfar dan ta'udz menderas, itu menjadi fase taubat.
Boleh jadi saya pernah ada di posisi sebagai yang ngghibahin orang lalu Allah buka mata saya dengan cara itu, meski berulang kali suami mengatakan, "Ummi tidak mengghibah orang lain, Ummi selalu Husnuzon pada orang lain." Tapi tetap saja saya merasa ini akan menjadi sarana taubat sekaligus perbaikan diri.
Bersambung yaa..
Balananjeur, Senin, 18 Oktober 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar