By the way tentang gontok-gontokan via jemari, saya kok merasa aneh, belum tentu saling kenal, komunikasi atau bertatap wajah juga belum pernah tapi kok bisa-bisanya saling berbalas amarah, i mean kata-kata pedas sepedas seblak level tertinggi. Kok bisa ya? Gimana sih rasanya? Trus apa sih yang dipikirkan saat berbalas amarah seperti itu? And anything about yang berkaitan dengan marah-marahan di media online bikin saya nggak faham dan penasaran sebabnya.
Wait, penasaran? Enggak sampai penasaran banget sih. It just, nggak ngerti aja, "kok bisa sih?" 🤔
Pengetahuan seperti itu diharapkan bisa membuat kita untuk tidak main ngjudgement kepada orang lain dengan judge negatif. Bisa lebih toleran and nggak dikit-dikit nunjuk orang salah. Well..
Eits saya pikir saya sudah gagal fokus karena bukan gontok-gontokan yang sedang ingin saya bahas tapi tentang vaksin. Berhubung saya sedang mengikuti rapat sosialisasi vaksin di sekolah de Olin jadi topik terhangat yang bisa saya simpan sebagai jejak kali ini about 'Vaksinasi Covid Buat Anak, Pentingkah?'
"Terkait dengan vaksinasi Covid untuk anak, tentu ada alasannya." Kata dokter umum dari puskesmas yang memberikan sosialisasi materi (see, saya lupa nama beliau padahal baru beberapa menit yang lalu beliau memperkenalkan diri)
"Alasan vaksinasi Covid untuk anaknya apa?
Pertama, untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak khususnya terhadap anak usia 6-12 tahun.
Kedua, Berapa kali disuntikkan ke anak? Dua kali dengan jarak 28 hari dengan dosis yang sama.
kenapa harus di vaksin? Imun anak lebih tinggi. Kekebalan timbul setelah 2-4 Minggu setelah penyuntikan.
Apakah akan sakti terhadap Covid? Absolutelly No.
Kenapa anak SD perlu di vaksin? Agar anak tersebut tidak lebih parah saat terkena Covid, supaya tidak beresiko jadi carrier untuk orang di rumah."
Itu penjelasan dokter tadi.
But... Hey, sebagai tukang kritik yang baik, nggak bisa donk ambil pendapat orang mentah-mentah alias lep gorolong tanpa di kunyah dulu. Ngunyahnya juga sampai benar-benar halus..
Nah, pas sesi ngunyah itu tetiba ketemu cucuk alias duri, kerikil (🤭) atau apapun yang tidak boleh masuk ke lambung, apa yang akan dilakukan? Protes? Bukan, tapi membuang duri atau apapun itu yang nggak baik buat lambung. Begitu juga saat ketemuan sama opini ataupun penjelasan versi orang di luar diri kita, jangan ditelan kalau tidak baik untuk lambung mah.
So, apa sih yang membuat saya terganggu? Here it is about analogi ini, "saat ada seseorang yang mau pedekate maka orang itu akan bilang, ah diamah sudah ada yang punya. Jadi nggak jadi deh pedekate teh."
Ini versi penjelasan pak Mantri dari puskesmas.
Dalam penjelasan lain dari dokter beliau mengatakan, "Yang sudah di vaksin bukan berarti tidak akan terkena virus."
Oh ok fine, mungkin penjelasan bapak yang pertama belum tuntas, harusnya ada kalimat tambahan, "Tapi beda ceritanya kalau yang mau pedekate teh keukeuh alias bermuka baja. Dan yang mau di pedekatein membuka peluang itu, artinya tetap ada peluang untuk dimiliki meski sudah jadi milik orang lain." Uhuk..
Ok kita cukupkan sampai disana cerita ngunyah and listening nya. Sekarang lanjut pada curcol pengalaman, karena kalau berbagi ilmu mah saya tidak memiliki kapasitas di bidang itu. Sebagai tambahan, mencari rujukan keilmuan haruslah pada yang memiliki kapasitas dibidangnya. Misal bertanya tentang kesehatan, tanyakan pada ahlinya. Bertanya tentang fiqh, tanyakan pada ahli fiqh. Dan seterusnya.
Nah, saya mah cuma berbagi pengalaman saja.
Beberapa saat yang lalu seorang ibu bertanya, "teteh, kalifa mau diizinkan di vaksin atau tidak?" Saya jawab kalau saya dan suami sepakat untuk tidak memberikan izin vaksinasi untuk de Olin.
"Kenapa, teh? Teteh anti vaks ya?"
Kalau saya anti vaksin, mungkin tiga anak dan suami saya nggak bakalan dapat izin untuk di vaksin, nah kenyataannya dimulai dari Kakang, Aa, Adik dan juga teteh, semuanya tuntas di vaksin Covid. Jadi, kurang tepat kalau ada yang mengatakan kalau kami antivaks.
Sebagaimana kami memilih untuk tidak panik memberikan obat pada anak saat sakit di usia dininya, seperti itulah yang kami pilihkan dalam vaksinasi nya. Maksudnya? Sampai anak berusia 12 tahun, saya memilihkan semua yang bisa masuk ke dalam tubuh mereka; makanan, minuman dan obat.
Dalam perjalanan pilihan itu tak jarang saya mendapati anak mengkonsumsi sesuatu yang tidak ada dalam list saya, misal makan makanan yang berbumbu penyedap dan semacamnya. Ada beberapa kondisi yang tidak bisa saya kendalikan apalagi saat anak-anak memasuki usia sekolah dan saya tidak terlalu khawatir untuk itu, da kumaha deui nya maeunya kudu dicacaram sambil dipantau terus mah atuh. Jadi untuk beberapa makanan sendiri saya bolehkan mereka jajan jajanan luar dengan syarat dan beberapa alasan; kalau jajan, cari yang paling aman (sesuai versi saya) 😁 trus niatkan untuk membantu para pedagang yang sedang mencari nafkah (semoga Allah Ridha atas niatnya).
Saya tidak bisa memantau keseluruhan makanan yang masuk ke dalam tubuh mereka tetapi saya bisa memantau (termasuk menghindarkan) mereka dari obat yang masuk ke dalam tubuh mereka.
Well ini pilihan, saya memilih untuk tidak memberikan vaksin sejak mereka lahir sampai berumur 14 tahun. Alasannya? Ini hanya ikhtiar saya, saya ingin tubuh mereka membangun antibodi nya sendiri. Hanya itu? Yah, hanya itu. Karena untuk hal-hal lainnya saya tidak cukup ilmu untuk membuat opini sendiri. Terkait kehalalannya, dampak positif atau negatifnya bagi tubuh...ada ahli yang jauh lebih kompeten untuk membahasnya.
Asa pabaliut kieu nulis yang inimah, but nulis aja dulu! 😅
Nah, di usia 14 tahun atau saat anak-anak masuk kelas 9 barulah saya berikan mereka kesempatan untuk belajar memilah apakah akan di vaksin atau tidak, itu pun masih dengan syarat; mereka harus tahu alasan di vaksin atau tidak, mengetahui efek maslahat atau madhorot nya, dan saya minta mereka untuk tidak tuturut munding alias nurutan batur. Saya tidak mau mereka menyandarkan hidupnya pada pilihan orang, jadi saat mereka akhirnya memilih di vaksin, itu karena mereka yakin akan maslahat yang lebih besar untuk dirinya dan ummat secara keseluruhan bukan karena sekedar mengekor pilihan orang lain. Thats all..
Pada akhirnya tiga kakak de Olin memilih di vaksin di usia itu, apakah saya marah karena selama ini saya sendiri memilih mereka untuk tidak di vaksin? No, saya menghormati keputusan mereka karena saya sendiri sudah memberi mereka kesempatan untuk memilih. Come on ini bukan tentang memilih aqidah apa tapi ada perbedaan pendapat yang memungkinkan kita untuk tak perlu saling menyerang pilihan.. dan sekali lagi, saya menghormati pilihan anak-anak saat akhirnya mereka di vaksin.
Pentingkah vaksin untuk anak-anak? Itu tidak ada bahasannya dalam catatan ini karena setiap orang tua pasti lebih tahu apa yang paling penting dan dibutuhkan anak-anak mereka.
Balananjeur, Senin, 17 Januari 2022
(Ngpostnya telat sehari dari jadwal 🙏)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar