Tahukah anda, sahabat. Semua ini tidak ujug-ujug, bukan hanya perjuangan mengumpulkan uang yang dilakukan namun drama tangis karena sebab lainnya yang sampai saat ini sebenarnya belum juga usai. Namun saat ini, itu bukan lagi masalah besar.. ya, saat sesuatu yang kita anggap sebagai hal paling menyakitkan sudah dilalui, semua itu akhirnya kan dirasakan sebagai bumbu hidup yang akan dinikmati sesuai porsinya, tak lagi jadi alasan hadirnya tangisan.
Namun tangis pedih itu pernah ada dan saya tidak berniat bercerita terlalu panjang atau detail tentang itu meski suatu hari saya mungkin tetap akan menceritakan juga dengan cara saya.
Well, kenapa tiba-tiba nulis bab ini lagi setelah sekian lama? Sebenarnya saya memang berniat menulis sampai tuntas setiap detail proses namun kejadiannya hanya akan saya bahas sekilas. Untuk apa? Jejak bagi anak cucu saya tentunya dan untuk siapapun yang mungkin sedang merancang asa (sambil memeluk erat tangisan) untuk mendapat rumah tinggalnya sendiri. Saya tahu bagaimana rasanya dan saya yakin anda bisa melewati masa itu dengan jauh lebih baik..
Kenapa tiba-tiba? Bukan benar-benar tiba-tiba juga sih hanya seolah diingatkan kembali oleh suatu pernyataan yang cukup membuat saya kehilangan mood, "dulu pernah ada yang nanya, darimana punya uang buat membangun. Saya bilang aja minjem uang dari Ibu nya dan untungnya saudara-saudaranya baik tidak melarang ataupun iri. Biar nggak ada fitnah."
Oh well, ini justru terasa menusuk apalagi saat disebutkan nominal pinjaman yang nyatanya tidak sebesar itu. Apalagi saat dikatakan karena kebaikan saudara, benarkah seperti itu?? Menurut saya ini agak berlebihan apalagi jika disangkut pautkan dengan khawatir menjadi fitnah. Fitnah bagi siapa?
Oh hey.. saya mulai keluar jalur. Namun karena inilah saya perlu mereleaze kembali setiap kata agar kisahnya tidak di up suatu hari karena hanya sekedar terkubur dalam memori yang dikubur. Ini sekaligus jawaban karena jujur saja saat ada yang membahas itu saya sama sekali tidak memberikan tanggapan, ini juga untuk anda para pembaca yang sedang mencoba merintis mimpi membangun rumah, kalau anda merasa sesak yakinlah orang-orang diluar sana yang sekarang sudah memiliki rumah pun pernah merasakan hal yang sama. Anda pasti bisa bertahan!
Tulisan ini sekaligus untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa sebagai orang hidup ada saatnya kita meminta bantuan ataupun memberikan bantuan, kita tidak hidup sendiri dan bahwa mandiri itu bukan berarti nggak pernah minta bantuan sama sekali. Dan kali ini saya akan ceritakan bahwa yaa memang kami minta bantuan (cari pinjaman).
Full ceritanya tidak akan saya ceritakan disini namun saya akan ceritakan nominal pinjaman dan berapa pengeluaran kami saat itu trus darimana kami mendapatkannya. Oh wait, agak membingungkan juga kalau sampai ada yang bertanya, "dapat uang darimana?" Karena waktu itu saya dan suami kebetulan bekerja. Oh ok, saya memang sudah tidak bekerja namun saya masih memiliki sedikit tabungan yang memang dipersiapkan untuk membangun rumah, begitupun dengan suami yang juga bekerja dan penghasilan waktu itu selain untuk kebutuhan sehari-hari juga bisa disisihkan untuk menabung.
Ya kami sepakat akan menabung untuk membangun rumah . Kami artinya saya dan dia. Saya mengesampingkan keinginan keinginan untuk membeli barang-barang yang diinginkan demi bisa mewujudkan harapan memiliki rumah. Alhamdulillah uang tabungan terkumpul beberapa juta rupiah, namun kami sadar untuk membangun rumah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apakah uang yang kami miliki sangat sedikit? saya merasa itu cukup namun tidak mencukupi untuk membangun rumah karena itu kami meminta bantuan kepada ibunya suami. Bukan bantuan cuma-cuma tetapi berupa pinjaman.
Saya menyadari bahwa hal ini berpotensi timbulnya konplik dikemudian hari namun kami tetap melakukannya. Sungguh hari itu kami seolah dibatas harapan.. Rumah yang kami tempati akan segera dipakai pemilknya dan kami mulai lelah berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya, itu adalah rumah ke-8 yang kami tempati selama rentang pernikahan kami.
"Tinggal disini saja!" Emak menawarkan untuk tinggal di rumah beliau. But how can? Dengan 4 anak yang masih kecil-kecil kami tak mungkin tinggal di rumah Ibu yang didalamnya juga ada kakak ipar bersama keluarganya. Kami tak mungkin pindah kesana .. Namun bukan itu satu-satunya alasan.
"Kalau kita tinggal di rumah Emak, yang paling kasihan itu bukan kita yang akhirnya tidak bisa belajar tentang hidup karena pastinya akan dibantu terus sama emak, atau kakak kita yang pasti akan tidak nyaman namun Emak yang pastinya akan menjadi seorang yang serba salah. Tiga keluarga hidup dalam satu atap itu akan melukai Emak pada akhirnya." Suami menjelaskan alasannya kenapa menolak untuk tinggal di rumah Emak. Jadi bukan karena tidak ingin merawat Emak seperti yang pernah kami dengar tapi justru ingin meringankan beban Emak dengan caraanya.
Jalan berliku, fitnah menerpa hingga tak ada tangan terulur karena Emak memilih memberi pinjaman sebesar 15 juta rupiah dari meminjam di BTPN. Emak yang memiliki akses mudah untuk mendapat pinjaman dari Bank akhirnya membantu kami dengan alasan yang sebenarnya sampai hari ini tidak saya ketahui, namun yang pasti itu salah satu pengorbanan terbesar Emak untuk kami yang akan selalu kami ingat sampai bila-bila.
Alhamdulillah proses pembangunan pun bisa dilaksanakan dengan bantuan pinjaman dari Emak dan tabungan kami serta bantuan dari kakak-kakak saya.
Ada juga pinjaman lain berbentuk barang seperti membeli kusen pintu dan jendela dengan proses tempo. Perjanjiannya sih tempo agak lama tetapi sebulan atau dua bulan juga sudah ditagih jadi Alhamdulillah bisa lunas dalam waktu dua bulan atau kurang dari itu.
Rumah ukuran 10 × 6,5 meter dengan dinding bata menghabiskan dana lebih besar dari itu. Project awal rumah memang hanya berukuran 10 × 6,5 sebelum diperluas menjadi 8,5 × 2 serta satu calon ruangan lagi yang tidak masuk hitungan. Kebutuhan bata dan semen saja sudah MasyaAllah.. saya ingat bata yang kami beli itu 11.000 buah dengan harga 550 rupiah berbuah, lalu kurang lagi sekitar 1000 atau 2000 buah. Ini tidak termasuk dapur yaa..
Kami membeli semen 100 sak seharga 55.000/sak. Kayu entah berapa banyak (lupa lagi), genteng dari naon etateh namanya, calsit, biaya tukang dan laden selama sekian puluh hari, biaya tukang kayu, biaya makan pekerja.
MasyaAllah hari itu.. sampai pas selesai teh saya langsung sakit karena kecapekan baik fisik maupun hati.
Balananjeur, Senin, 28 Februari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar