Rabu, 23 Maret 2022

Day 81

Seorang ibu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gerutuan kecil, "cape ngurus barudak teh." Disertai keluhan lainnya tentang kain pel dan deterjen yang selalu tak ada habisnya. Aku tersenyum mendengarnya, sepertinya ini senyum paling miris yang pernah kulakukan.

Kenapa miris? Sungguh keluhan itu bukan pada tempatnya, namun aku bimbang bagaimana harus bersikap. Ini bukan kali pertama aku mendengar kalimat seperti itu, sangat sering membuatku ingin menjawab, "hellooo, kamu pikir aku cuma duduk manis?"

Oh hey, bukan tanpa sebab aku merasa ingin mengatakan itu karena seseorang yang sedang berbicara denganku kali ini adalah orang yang dengan ringan akan mengatakan, "kamu bisa nyaman karena kami." Atau, "kamu mah enak karena kami mau berkorban buat kamu." Setiap kali ia letih dengan rumah ataupun kondisi ekonomi yang di uji.

Sangat tidak menyenangkan, bukan? Tahukah kamu kenapa dia berpikir kehidupan kami sekarang karena pengorbanan dia? Tentu tak akan ada asap kalau tak ada api, bukan?

Baiklah, izinkan saya bercerita sedikit serius tentang hal ini. Hmm, kisah ini mungkin akan sedikit mengorek luka, entah kenapa bertemu denganmu membuatku merasa bebas bercerita dan saya merasa baik-baik saja setelah itu. Padahal saya tahu, bercerita padamu mungkin saja tak kan hanya sampai padamu, sangat mungkin kau meminta mengikhlaskan dirimu menuliskan kisah yang sampai padamu. Dee, saya ikhlaskan kisah ini untuk kau tuliskan kembali.. semoga siapapun yang kelak berkesempatan membacanya bisa memetik ibrah dari kisah ini, seperti harapanmu.

Dee, kisah ini agak pelik dan sedikit membingungkan bagiku. Saya bahkan sempat berpikir bahwa ini hanya ilusi atau prasangka buruk sampai saya kembali mendengar sendiri dan meyakini bahwa itu bukan prasangka.

Ah, kau mungkin mulai bingung apa yang sebenarnya akan saya ceritakan? Ini masih harus hati-hati saat di kunyah karena sungguh saya khawatir salah mengucap kata meski saya tahu kau bisa meluruskan kekeliruan pemilihan kalimatku ini.

Dee, saya ingin mengajakmu melihat kejadian kecil di tiga tahun yang lalu. Saat itu kami semua tengah berkumpul menikmati momen hari raya. Tiba-tiba salah satu diantara kami, ibu muda yang saya sebutkan di awal kisah ini berbicara dengan berurai air mata. Sungguh saya mudah luluh dengan air mata namun hari itu kalimat yang terucap darinya menyentuh luka yang pernah tercipta. Dia berkata bahwa dirinya adalah orang yang paling banyak berjasa dan banyak berkorban untuk kami.

Saya bingung, Dee .. 
Saya juga terluka mendengar kalimat itu. Semua yang berada di ruangan berempati dan saya menjadi pesakitan yang paling jahat karena tak sedikitpun menatap empati. 

Tahukah kau pengorbanan dan jasa apa yang dimaksudnya? 

Bahwa kami membangun rumah karena pengorbanan dan jasanya. Dee, kamu tahu bagaimana jatuh bangunnya kami saat membangun rumah. Kamu tahu bagaimana kami menahan sesak hingga harus mengusap duka fitnah atas kami saat itu.. lalu tiba-tiba saja ada yang mengatakan bahwa semua itu karena pengorbanannya. Dee, luka itu berdarah lagi.

Mari kita beranjak ke beberapa tahun sebelum itu, kau tahu pasti kisah ini kan, Dee. Kau lihat bagaimana kami kelimpungan. Kalau kukatakan hingga berdarah-darah rasanya akan sangat dramatis namun itulah gambaran hati kami saat itu.
Ah ya, ini akan saya kisahkan kembali. Kami berpindah kontrakan selama beberapa kali, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya hingga anak-anak memasuki usia sekolah dan kami mulai kesulitan biaya kontrakan sedang biaya pendidikan pun mahal.

Kami beranggapan kalau kami membangun rumah maka minimal tak perlu merengkuh sesaknya mencari biaya kontrakan, andai hanya punya satu ruangan pun tak mengapa asalkan itu rumah kami sendiri.

Anak-anak sudah beranjak besar, biaya hidup semakin bertambah jadi kami berharap memangkas anggaran lain selain juga ingin membangun kenangan masa kecil mereka di rumah yang tak perlu berpindah tempat lagi.

Dee, inilah mungkin alasannya mengatakan bahwa ini adalah pengorbanannya. Kami menangis minta tolong pada ibunda untuk mengikhlaskan kami membangun rumah. Ibunda tidak mengizinkan dan meminta kami tinggal bersamanya.. Bagaimana bisa kami tinggal disana sedangkan ada saudara kami beserta keluarganya juga yang tinggal disana? 

Oh baiklah kita berjalan ke beberapa tahun belakang sebelum kami keluar dari rumah dan memilih menjadi kontraktor. 

Kata orang ibu haruslah di rawat oleh anak bungsu tapi kami memilih keluar dan berpikir akan membawa ibunda bersama kami jika kami memiliki rumah kelak. Ini karena sesuatu yang masih berat untuk disampaikan pada siapapun, tapi kami punya hati untuk tahu situasi. Kami melihat minat yang besar dari ibu muda itu untuk tinggal disana. Bukan merawat ibunda tapi untuk rumah.. ah harta tak seberapa pun tak jarang menjadi alasan pertikaian dan kami menjadi salah satu korbannya. 

Bukan tidak beralasan jika saya katakan hal seperti itu, itu sungguh nyata terjadi. Setiap kali kami kesana selalu ada kalimat yang membuat jengah hati, ada kalimat yang terdengar ngilu didasar hati lalu kalimat terang-teranganpun tak urung kami dengar.

Lalu, siapakah yang sebenarnya berkorban?

Ia yang sangat berminat tinggal disana tapi ia kemudian yang bersikap seolah-olah kami lepas tangan. Hingga letihnya mengurus rumah tangganya sendiri ia katakan semua itu karena kami.

Dee, kisahku beralur mundur. Saya tidak tahu bagaimana menguraikan luka karena setiap kali kami kesana selalu muncul cletukan yang membuat saya seolah kembali di ajak pada masa dimana kami memilih angkat kaki dari rumah hingga orang-orang menggunjing tentang ini.

Dee, bukankah saya juga lelah? 

Balananjeur, Selasa, 22 Maret 2022


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh