Kakang tidak memiliki kendaraan jadi berangkat mengajar harus dengan jalan kaki. Hhh mengingat ini seolah berat untuk ku ceritakan, ada sesak menyelusup erat mengingat hari dimana lelaki ini berjalan melewati galengan sawah menuju sekolah tempatnya mengajar.
Wait, kali ini ceritanya bukan tentang jalan kaki ataupun pekerjaan. Itu akan saya tuliskan di kesempatan lain, insyaAllah. Kali ini tentang minggu kedua tinggal di rumah orang tua suami.
Mamah sering memberi kami nasihat untuk menyayangi dan menghormati orang tua suami sebagaimana menghormati Dan menyayangi orangtua sendiri. Saya pun mengazzamkan diri untuk mengikuti nasihat mamah, namun ternyata itu tidaklah mudah..
Mencintai ataupun menghormati dengan cara yang sama seperti halnya pada orang tua sendiri itu ternyata sangat sulit, saya si tipe kagokan dan tidak enakan tetiba tinggal di keluarga yang berbeda jauh dengan lingkungan tempat saya tinggal selama ini.
Oh no, ini bukan tentang perlakuan namun tentang rasa, mudah melafal kata, "jangan jadi orang yang tidak enakan!" Tapi sulit ditelan orang yang pada dasarnya memang nggak enakan.
Saya kesulitan beradaptasi, mudah tersinggung tapi tak bisa menyampaikan rasa dan hanya bisa memendamnya sendirian.
Emak dan bapak memperlakukan saya dengan sangat baik, emak bahkan hanya akan menyiapkan menu makanan yang menurut emak terbaik untuk saya. Saya ingat hari pertama emak menyiapkan menu telur dan aneka hidangan lain di meja makan pagi itu, saat saya mengambil ikan asin emak terlihat kaget lalu bertanya, "Nyai teu kunanaon emam asin?" Beliau khawatir saya kenapa-kenapa kalau makan ikan asin.
Emak berpikir kalau saya tidak terbiasa makan ikan asin, entah kenapa emak berpikir seperti itu yang pasti emak berusaha memperlakukan menantunya dengan sangat baik.
Saya jelaskan pada emak bahwa saya sangat menyukai ikan asin. Sejak hari itu emak tak segan menyiapkan ikan asin.
Emak yang menyiapkan? Maksudnya emak menyiapkan bahan masakan dan saya yang mengolahnya ðŸ¤
Oh ya, hari pertama ke rumah emak teh sekitar tanggal 15 Juni 2002, tepat seminggu setelah menikah atau satu hari setelah kami pulang dari rumah Enek di Salawu (nanti saya ceritakan juga bab bertemu Enek Salawu).
Berangkat sore hari dengan jalan kaki, mampir dulu di rumah bi Oon (sekarang sudah almarhum) untuk jajan siomay dan gehu lalu lanjut ke rumah Emak.
Hari pertama di rumah Emak, saya bermetamorfosa menjadi Dede yang baru. Dede yang sama sekali tidak saya kenal, sungguh itu adalah episode pertama pembelajaran hidup bagi saya. Tidak ada yang menuntut saya untuk berubah apalagi menjadi sempurna, namun itulah kekurangan (atau mungkin sekaligus kelebihan) saya yang menuntut diri sendiri untuk maksimal dalam berkhidmat.
"Emak, Kang Wawan sediheun berpisah dengan emak. Kang Wawan sayang ka Emak." Pagi itu saat memasak di dapur saya ceritakan tangis putranya di hari saat saya tanyakan apakah dia merasa sedih atas ibundanya. Oh hey, ini bukan pertanyaan tanpa alasan. Kakaknya belum menikah saat kami menikah, saya tidak ingin dia menyimpan kesedihannya sendirian. Bagaimana pun, dia bisa menceritakan perasaannya pada saya meski tetap saja tak banyak kata yang bisa saya dengar.
Emak tidak menunjukkan reaksi sebagaimana harapan saya, terlihat kikuk saat mendengarnya dan respon itulah awal mula saya berkesimpulan, "bersama emak, bukan untuk bicara perasaan."
Saya pun mulai menjaga sikap dan kata karena khawatir membuat emak tidak nyaman. Apapun yang saya lakukan, dalam benak saya selalu muncul tanya, "apakah orang-orang disekitar saya nyaman atau justru sebaliknya?" Hingga saya lupa diri saya sendiri..
Saya melupakan bahwa hati saya sendiri juga butuh kenyamanan. Bagaimana orang lain bisa nyaman atas saya kalau saya sendiri tidak nyaman dan hanya menuntut diri sendiri?
Balananjeur, Kamis, 24 Maret 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar