Sabtu, 19 Maret 2022

H-82

Beberapa hari yang lalu kakak saya mengkritisi cara saya yang memilih menitipkan keponakan kami yang akan menikah pada calon suaminya, menurutnya itu hal yang tidak perlu, "seseorang yang akan amanah dan menyayangi istrinya akan amanah dan menyayangi istrinya tanpa perlu kita ingatkan dan seseorang yang akan berbuat kedzaliman akan tetap berbuat dzalim. Bagaimana tanggapan dia jika kita menitipkan untuk tidak ada perlakuan dzalim diantara mereka? Bagaimana kalau justru dia merasa tidak di percaya?"

Dan saya pun mengkritisi cara kakak saya yang mengkritisi saya, karena tidak tahu apa saja yang saya bahas dalam pertemuan itu. 

Salahkah saling mengkritisi? Bagi saya ini hal yang lumrah terjadi, hal yang sah-sah saja. Yang salah adalah yang tidak bisa saling menyampaikan pendapat.

Sesuatu yang sehat saat kita bisa sama-sama saling menyampaikan argumen bahkan saling mempertahankan argumen itu. Harus mempertahankan argumen? Harus dong, sebagai orang dewasa apalagi sudah yakin dengan pilihan apapun itu harus berani juga untuk mempertahankan pendapat minimal dari diri sendiri. Jangan sampai diri sendiri goyah setelah yakin.

Kecuali, kecuali kita memilih untuk tidak membuka kesempatan untuk dikritisi atau didebat.

 Baiklah, bukan itu fokus bahasan catatan kali ini tapi tentang nasihat pernikahan yang sebenarnya menjadi bahasan kami (saya dan calon suami keponakan kami) hari itu.

Nasihat pernikahan? Kalau itu pantas di sebut sebagai nasihat maka anggaplah itu sebagai nasihat, namun jika masih kurang tepat maka anggaplah itu sebagai sarana berbagi pengalaman dengan harapan calon pengantin bisa mengambil ibrahnya.

Kenapa? Pentingkah berbagi kisah atau nasihat? Menurut kami, itu hal yang sangat penting. Ya, kalau kami adalah calon pengantin maka kami akan sangat senang mendapat nasihat atau review perjalanan berumah tangga karena dengannya kami bisa belajar untuk mengarungi bahtera dengan jauh lebih baik.

Sungguh hari itu kami hanya menyimak kisah melalui majalah, bahwa hidup berumah tangga ini begini dan begitu. Tapi semua terasa mengawang, ngawang-ngawang kalau dalam bahasa Sunda mah. Berharap ada yang bersedia memberi gambaran utuh bagaimana melalui setiap fase dalam rumah tangga, memanaje konflik dalam rumah tangga, bagaimana saat menjadi orang tua dan masih banyak hal lagi.

Yang pasti pada hari itu hanya keyakinan bahwa saya meyakini lelaki yang akan menikahi saya itu tapi tidak pernah mempersiapkan diri lebih jauh untuk menghadapi liku rumah tangga yang sebenarnya.

Balananjeur, Sabtu, 19 Maret 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh