Oleh: Dede Fatimah Shalihah
"Tentang Aufa",
Ini caraku memulai kisah, tentangnya sejak hari aku bercerita tentangnya. Ia, gadis kecil yang kini tlah resmi bermetamorfosa menjadi gadis remaja Ummi dan Abinya. Gadis remaja yang mencintai Allah dan RasulNya serta ummi abi dan saudara-saudaranya. Aku melihat cinta itu nyata adanya, terpancar dari bola matanya yang bersinar teduh, dari perilaku dan kesantunannya serta dari alasan jika ada gelisah menyapa; gelisah karena apa.
Ya, jika ada gelisah menyapanya, bukan perkara dunia yang menyilaukan yang membuatnya menatap resah namun keistiqomahan yang membuatnya tak henti menadah pinta, “Yaa Muqollibal quluub. Tsabbit Qolbii ‘alaa diinik.” Ia, gadis remaja yang menghawatirkan hati dan langkah yang menyimpang dari jalan Allah.
Sudah lebih dari satu bulan ini Allah uji dia dengan sakit, dia tidak pernah sekalipun mengeluh bahkan sekedar kata, “aduh” atau kata, “sakit.” Pun tak pernah didapati dari lisannya yang suci. Lisan suci yang tak pernah melafazkan kalimat bohong, buruk ataupun jorok itu senantiasa mengucap hamdallah bahkan dalam sakit yang menderanya.
Itu bukan sakit yang membuat penderitanya dengan mudah mengucap, “aku baik-baik saja.” Setidaknya itulah yang ku lihat dari kondisinya saat ini. Tapi lihat bagaimana ia tetap menata adabnya pada Rabb yang menciptakan sakit untuknya, “aku baik-baik saja.” Ucapnya yakin, seyakin senyum yang tersungging dari bibir yang darinya kalimat thayyibah tak pernah usai terlafal, seyakin sorot Netra yang berbinar dan seyakin saat ia tetap berdiri dengan tegar menghadapi sakitnya dengan hatinya yang tegar, “ini dari Allah. Allah Maha Tahu batas kemampuanku. Ini dari Allah, Allah Maha Tahu cara mendidik setiap hamba dan Allah akan membantu menguatkan.”
MasyaAllah, laa haula walaa quwwata illaa billah. Sungguh kalaulah bukan karena Allah yang menguatkan, tak akan ia setegar itu.
“Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah mendengarku.” Ternyata kalimat peneguh sekaligus pengingat yang kulihat dituliskannya di dinding kamar bertahun yang lalu itu menjadi cerminan dirinya kini. Ia sangat yakin bahwa apa yang terjadi padanya hari ini adalah cara Allah menjaganya dari keburukan. Penjagaan Allah yang selalu bersama, melihat dan mendengar bahkan suara hatinya sekalipun.
Dia, Aufa.
Suatu hari dia bercerita, “bukankah sesuatu yang berada dalam aturan itu adalah yang harus kita patuhi, ta’ati tanpa kata tapi.” Ada sendu dipelupuk matanya. Aku menyimaknya dengan seksama, ada apa dengan hatinya hingga sendu itu begitu kentara.
“sesuatu yang dilarang artinya haram untuk dilakukan.” Bening itu di ujung netranya yang gelisah.
“aku bersalah karena pernah memasukkan makanan yang dilarang. Ustadzah melarang membeli makanan dan minuman dari luar asrama, biasanya aku menjaga diri untuk tidak memasukkan apapun yang dilarang itu sampai suatu hari aku tidak tahu kalua sedikit makanan yang ku cicipi itu adalah makanan yang dibeli dari luar, makanan yang berada dalam larangan dan peraturan asrama dan aku bersalah karena tlah memasukkannya ke dalam tubuhku. Aku berniat untuk meminta maaf tapi belum juga kulakukan karena keburu pulang ke rumah.”
Akan ada hari baginya untuk memohon maaf dan meminta agar menghalalkan makanan ataupun minuman yang tlah berada dalam aliran darahnya, aku menyimak ketakutannya dengan mata berkaca-kaca. Bulir bening menghiasi kedua pipinya yang pucat, jika ia takut maka selain takut berpaling dari agama Allah, ia juga takut melakukan maksiat dan memasukkan makanan ataupun minuman yang tak halal baginya.
Aku menyimaknya, bahkan saat menjelang tengah malam kala ibu menuliskan huruf demi huruf menguraikan keresahan hati gadis remajanya lalu menyampaikannya pada Ustadzah agar menghalalkan segala makan dan minum si gadis remaja serta memaafkan kesalahannya, aku pun menyimaknya. Jam itu menjelang tengah malam saat si putri kecil yang kini tlah remaja itu terlelap, ibu yang jua menangisi gelisah yang sama bersujud di penghujung malamnya, “Rabbana, terima amal kami dan anak-anak kami hari ini. Ampuni kesalahan kami dan anak-anak kai hari ini, lindungilah kami dan anak-anak kami dari hal-hal yang tidak Engkau sukai. Rahmati dan Ridhailah kami dan anak-anak kami.” Lalu satu persatu nama anaknya disebut sambal menangis dan memohom ampunan dan rahmat Allah atas mereka.
Aufa, ia pun disebutkan dalam do’anya. Ibu itu menangis mengingat sakit yang dihadapi dan akan dihadapi gadis kecilnya. Ibu itu juga menangis mengingat ketegaran Aufa kecil yang kini sudah remaja.
Ya, Aufa adalah gadis kecil yang sangat tegar dalam pandangannya. Kala seluruh tubuhnya di uji sakit pun kalimat thayyibah dan penuh kesyukuran tak pernah lepas dari lisannya, ibu itu menangis mengingatnya, “Rabbana, Engkau titipkan pada kami keistimewaannya maka bantulah kami untuk menjaganya, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik penjaga dan maha luas rahmatnya.”
Aku disini tetap menyimaknya, terdiam di balik asa mendoakan mereka yang saling memeluk dalam doa. Kala putri kecil yang kini menginjak remaja itu terbangun saat ibu Kembali lelap, gadis itu yang kini menengadahkan tangan dengan bercucuran air mata, “Robbana, hamba Ridha dan hamba ikhlas. Sungguh duhai Allah, padaMu sang pemilik hati kuadukan semua rasa dan harapan, jaga ummi dan abi yaa Allah.”
Kini aku, disini menyimak dengan tangis sesak, tentang Aufa yang baru bab pertama kuceritakan Kembali.
Aku akan Kembali bercerita tentang Aufa si gadis kecil yang penuh kelembutan dan sopan santun dan kini tlah bermetamorfosa menjadi gadis remaja dengan kelembutan dan kesantunnanya yang senantiasa menjadi bingkai dirinya.
Aku disini, nanti, akan bercerita Kembali tentang Aufa yang belum selesai kuceritakan.
Balananjeur, Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar