Sabtu, 03 September 2022

Day 248

Gadis semester 4 di sebuah universitas ternama itu terdiam sejenak, lalu menarik nafas panjang sebelum memulai kisahnya. Ada bulir bening di kelopak matanya seolah mewakili berat yang dirasakannya.

"Ini terasa menyakitkan, masih terasa sakitnya. Tapi aku ingin menceritakannya." Lirih suaranya terdengar, ia seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

"Sulit bagiku menceritakannya karena aku merasa seolah hanya membesarkan masalah. Tapi aku hanya anak kecil usia SD yang hanya tahu rasanya dikucilkan pada saat itu, bagaimana teman-temanku memandangku dengan tatapan tidak suka dan mereka yang berbisik-bisik tepat di depanku untuk tidak mengajakku bermain. Pada saat itu aku hanyalah anak kecil yang hanya tahu rasa sakit mendapat perlakuan seperti itu tanpa pernah tahu apa salahku, bagaimana seharusnya aku bersikap dan kenapa orang-orang dewasa itu justru berpihak pada mereka yang mengucilkan aku." Bulir itu menetes membasahi pipinya yang pucat. Tampak jelas luka terpancar dari sorot matanya yang sendu.

"Ada seorang teman, dia dikenal sering menindas orang-orang disekelilingnya termasuk aku. Dia menyuruh dan tak jarang berkata kasar ataupun menakut-nakuti teman yang tidak menurut. Sampai kelas 5 SD aku masih menurut.. perintahnya mungkin terlihat sederhana seperti minta diambilin makanan atau minuman, minta menjauhi teman yang sedang tidak disukainya, minta dibantu pengerjaan pr nya dan masih banyak lagi, namun itu tidak sesederhana seperti yang dikatakan orang-orang dewasa dan bahkan teman-temanku yang mengatakan, "teu pira ge sakitu. Atuh sing nurut we meh teu di heureuyan!" Tanpa tahu sudut hatiku yang lelah dan merasa ini adalah penindasan atas hak ku untuk hidup berkembang sesuai keyakinanku, bukannya di suruh ini itu lalu ditakut-takuti saat tidak menurut. Aku lelah dan akhirnya berontak."

"Aku ingat saat itu temanku itu memintaku mengambilkan sapu lalu aku jawab, 'ambil saja sendiri!', aku tidak lagi menurut dan ternyata itulah awal aku mendapat perlakuan yang membuatku memendam trauma sampai hari ini." Dia mengambil nafasnya pelan lalu mengeluarkannya tanpa suara, beban berat masih dapat kulihat jelas. 

"Sejak hari itu teman-teman sekelasku saling berbisik tentang aku, menyalahkan dan menatapku dengan tatapan yang membuatku risih. 'jangan main sama Dyan.', 'atuh si Dyan mah disuruh segitu aja nggak mau, belagu banget', 'gara-gara si Dyan, kita semua kena getahnya', 'dia sendiri yang minta dikucilkan. Kalau dia tidak berulah mungkin tidak akan seperti ini jadinya' dan masih banyak lagi kalimat yang diucapkan teman-temanku tentang aku. Ulah seperti apa yang kulakukan? Aku yang mulai tidak mau menurut saat disuruh-suruh.
Sejak hari itu aku sendirian dan dikucilkan. Tidak ada yang mau berteman denganku dan aku berusaha bersikap seolah biasa saja meski nyatanya hatiku terluka.
Tidak cukup dengan pengucilan dan kalimat yang membuatku tidak nyaman, aku juga disoraki dengan kata-kata yang membuatku menangis, buku ku di curat-coret dan aku pernah beberapa kali di tonjok, menurutnya dia tidak suka dan sebal saat melihatku karena hanya aku yang tidak menurut saat di suruh olehnya. Menurutnya aku itu tidak seharusnya ada dan teman-teman tidak senang atas kehadiranku. Aku menangis dan mengadukan ini pada orangtuaku." dia mengusap derasnya air mata dengan tisu yang kuberikan, sejenak dia terisak. Luka itu dalam...

"Orang tua ku datang ke sekolah untuk mengabarkan pada pihak sekolah perihal kejadian yang menimpaku. Tapi bukannya mendapat perlindungan, aku justru disalahkan. Katanya aku itu terlalu perasa dan hanya melebih-lebihkan. Bahwa kejadian seperti itu hal yang biasa dan yang harus aku lakukan adalah mengalah. Orang tua ku meminta penanganan yang baik dan adil atas kasus yang ku alami namun guru-guruku tetap berpendapat itu hanya karena aku yang terlalu berperasaan dan melebih-lebihkan padahal guru-guru sendiri sering mengatakan kalau teman yang sering merundungku itu adalah anak yang sulit di atur. Hingga muncul kalimat, "Dyan ngalah saja, ya! Soalnya kalau dilawan dia malah makin menjadi." aku meminta perlindungan bukan permakluman atas perundungannya. Karena aku melawan maka dia malah makin menjadi dalam merundungku, ini kalimat yang ku tangkap dari penjelasan saat itu. Orang tua tema yang sering merundungku juga hadir disana, tak jauh berbeda dengan yang dikatakan guru dan teman-temanku, mereka semua melindungi perundung dan menyalahkan aku. Hanya orang tua ku yang berpihak padaku, lalu mereka bertanya apa yang ingin aku lakukan, saya katakan saya sudah tidak mau sekolah disini dan ingin pindah. Orang tua ku menyetujui namun lagi-lagi kalimat yang kudengar bukanlah permintaan maaf tapi, 'ni babarian pisan. Teu pira oge sakitu.' aku anak kecil saat itu, setiap kalimat yang kudengar hari itu terasa menusuk hatiku..sakitnya sampai hari ini. Orang tua dan keluargaku memeluk dan menguatkan aku namun ternyata itu belum cukup untuk menyembuhkan luka hatiku, aku masih sering teringat kejadian itu bahkan merasa sesak setiap kali mendengar nama orang yang merundungku. Aku melupakan a nama teman-teman sekelasku dan sering menghindar setiap kali berpapasan dengan mereka, aku benar-benar lupa nama teman-teman sekelasku kecuali dia yang merisakku namun kenangan hari-hari itu masih terlihat jelas seolah itu baru terjadi kemarin. Aku berandai, andai saja teman-teman dan guru-guru ku mendukung agar tidak terjadi hal seperti itu, tidak memberikan pembenaran bagi pelaku perundungan dan lebih aware pada korban. Aku berandai orang tua dan orang-orang dewasa di sekeliling tidak abai pada perundungan apapun baik itu perundungan secara verbal, fisik maupun sosial. Aku berandai orang tua teman yang merundungku tidak membiarkan anaknya menjadi perundung, aku juga berterima kasih pada orang tuaku yang selalu memberiku kepercayaan dan menguatkan aku meski tentu saja apa yang terjadi di sekolah padaku adalah diluar kendali dan harapan mereka."

Sekelumit kisah ini menohokku, aku orang dewasa sekaligus guru dan orang tua yang seperti apa saat disekelilingku ada Dyan-Dyan lainnya yang membutuhkan perlindungan dan perhatian. Bukan hanya Dyan tapi juga banyak nama lainnya yang mungkin luput dari perhatian kita..

Ini adalah pembullyan, dan bully ternyata memiliki efek sakit yang jauh lebih besar dan panjang dari yang kita fikir. Beruntung Dyan yang mampu bangkit dari luka nya dengan lahir menjadi seseorang yang berprestasi, tapi lihat bagaimana dia menahan bulir sakit di hatinya! Lihatlah bagaimana dia menarik nafas dan menyeka luka batinnya dengan saputangan waktu yang ternyata tak kunjung mengeringkan lukanya yang senantiasa basah. Inilah luka pembullyan yang sering kita abaikan..

Balananjeur, Sabtu, 3 September 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh