Sejak dulu sekali saya paling gemes kalau melihat sandal atau sepatu yang berantakan di depan teras masjid, rumah atau sekolah atau dimanapun. Selama masa membersamai balita terpaksa harus menahan kegemasan karena harus menjaga energi agar tidak terkuras dalam urusan orang lain, dulu sih mikirnya ituteh urusan orang 🤠padahal ibda binafsi termasuk juga dalam urusan membenahi masalah sepatu dan sandal yang berantakan alias membereskannya dengan ikhlas. Ikhlas itu tidak akan membuat kita merasa kehilangan energi ðŸ¤
Saya membiarkan saat melihat ada yang berantakan meski saya merasa gemas ingin berkontribusi dalam membereskannya. Sampai kemudian Allah titipkan waktu bernafas hingga hari ini, kegemasan itu kembali berwujud turunnya tangan untuk membantu membereskan.
Anak saya bertanya, "ummi nggak malu beresin sandal orang?"
Saya jawab awalnya sih malu tapi ummi ingat bahwa penghalang kebaikan salah satunya adalah malu saat hendak memulai berbuat baik. Rasa malu memulai juga menjadi sebab penyesalan dan ummi tidak mau menyesal ataupun terhalang dari amal yang ummi harapkan bisa menjadi kebaikan yang Allah Ridhai.
Ada kisah yang membuat kang Wawan tertawa mendengarnya. Suatu hari di suatu kajian saya melihat sandal yang berantakan di depan teras masjid, naluri kegemasan saya pun muncul dan membuat tangan otomatis membereskannya tepat saat saya mau masuk masjid. Lima menit kemudian saat saya keluar untuk suatu keperluan saya lihat sandal sudah kembali acak-acakan.. how can? Hanya dalam waktu 5 menit? Dari mana saya tahu itu 5 menit? Yaaa kan ada jam 😅
'alaa kulli haal itu bukan masalah besar. Yang jadi masalah itu bukan bagaimana orang lain tapi bagaimana saya dengan tekad untuk Istiqomah, ah saya khawatir tidak Istiqomah dan tertimpa penyakit berhenti tanpa melakukan apa-apa. Penyakit apa ini? Penyakit diam dan pulang tanpa amal.
Balananjeur, Senin, 5 September 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar