Sabtu, 15 Oktober 2022

Lima Belas

"saudara terdekat adalah tetangga.." kalimat itu benar adanya, terutama setelah berkeluarga dan jauh dari keluarga besar. Inilah juga yang saya rasakan selama mendampingi para balita, tinggal jauh terpisah dari keluarga besar dengan 3 balita adalah hal paling excited pada awalnya.

Kami memiliki tetangga yang sangat baik, tetangga depan rumah, samping kiri dan kanan bahkan sampai berjarak sekian rumah sangat aware, saat kami masih menjadi orang tua muda yang nyatanya membutuhkan support system yang baik dari orang-orang terdekat. Biidznillah kami mendapatkannya dari tetangga. 

"Teteh, kalau ada apa-apa, kabari saya ya teh!"
"Teteh, kalau mau nyuci, atau apapun, anaknya bisa titip sama saya. Jangan sungkan ya!"
"Teteh, kalau lagi sakit atau ada hal apapun. Jangan sungkan minta bantuan ya teh!"
"Teh, pintu rumah kami selalu terbuka. Jangan sungkan kalau butuh sesuatu!" 
Semua itu hanya sebagian kecil kalimat baik yang saya terima dari tetangga.

Meski saya bukan tipe yang nitipin anak saat mau nyuci atau beraktivitas apapun, memilih tetap menggendong sendiri anak sambil beraktivitas dan sungkan meminta bantuan bahkan meski sedang sakit, segala kebaikan yang terulur dari niat baik para tetangga membuat saya lebih kuat menghadapi letih yang siap muncul setiap waktunya.

Inilah kemudian rutinitas yang hilang dan pernah membuat tubuh gagal move on, seolah masih ada balita dalam gendongan dan you know bagaimana tubuh tetap bergerak saat menggendong bayi? Itulah yang saya lakukan sampai beberapa tahun setelah tubuh akhirnya menyadari bahwa sekarang sudah tidak menggendong bayi lagi.

Ya,aktivitas menggendong bayi adalah rutinitas yang kerasa banget hilangnya. Tubuh saya hari ini masih refleks merangkul anak sebenarnya karena terbiasa refleks menggendong.Kumaha nya nyariosna 🤔 intinyamah Kitu Weh.Tubuh teh kayak ngasih respon ada yang hilang jadi Weh dikit-dikit meluk anak 😂

Kadang menggendong 3 anak sekaligus saat sedang mencuci, Adik dan teteh berada dalam gendongan dan Aa digendong di punggung. Saat itu cucian sudah sangat menumpuk, suami sedang sakit dan anak-anak juga sakit jadi .. tahu kaan gimana anak-anak kalau lagi sakit? Yups pengen nempel terus sama ibunya.

Saya masih ingat pada saat-saat seperti itu saya menangis, namun bukan menangis sedih tapi menangis dengan ingatan bahwa kelak itu hanya akan menjadi kenangan. Kalau saya mau, saya bisa meminta bantuan tetangga untuk menghandle anak-anak atau mungkin mengabari kekuarga di kampung dan meminta bantuan mereka, tapi itu tidak pernah saya lakukan karena ingatan saya bahwa akan ada hari saya menangisi hari-hari itu dengan tangis kerinduan. 

Tangis itu tidak akan lebih sakit jika saya full ada untuk mereka, itu yang saya pikirkan hari itu, dan memang benar saya kini menangisi hari-hari itu dengan tangis rindu dan bahkan sesal karena merasa tidak maksimal membersamai mereka. Namun, saya bersyukur atas hari-hari dimana anak-anak tetap berada dalam dekapan dalam kondisi riweuh sekalipun. 

Saya bersyukur karena memilih untuk tidak menitipkan mereka meskipun itu bisa dilakukan.. MasyaAllah fabiayyi aalaairobbikumaa tukadzdzibaan? Masa-masa menggendong para balita adalah salah satu episode yang paling berkesan dan membahagiakan, bahkan sampai membuat diri merasakan kehilangan. 

 #catatandefa 
#oktoberdefa

 Balananjeur,Sabtu, 15 Oktober 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh