Saya kembali membuka diary-diary lama, diary yang masih diawali muqoddimah, "dear diary.." saat menuliskan kisah. Terasa alay saat membacanya kembali, sampai menertawakan diri, "ya Allah ini bahasanya.." 😅 tapi bersyukur pernah ada di fase seperti itu, fase nulis yang agak-agak gimanaa gitu, "dear diary, hari ini aku..." Lalu saat melihat coretan tangan anak-anak di hampir semua lembaran itu saya kembali mengingat bahwa saat menulis diary hari itu ada beberapa balita yang menemani dan meminta menulis bersama; menulis dengan gaya masingmasing.
Mereka masih kecil untuk memahami bahwa ibunya sedang melepas rasa dan butuh kesendirian saat menuliskan rasa itu, masih kecil untuk memahami bahwa goresan tangan mereka hari itu ternyata akan membuat ibu menangis di hari ini; tangis rindu. Ah, adakah ibu yang tidak merindukan anak-anak balita mereka? Saya menjadi sangat melankolis saat mengingat kisah para balita.
Ada yang duduk di atas punggung dengan patlot di tangan. Duduk di samping juga didepan saya, masih dengan patlotnya masing-masing sehingga kalimat pembuka , "dear diary.." selalu disertai abjad dan lain yang hanya para balita sendiri yang tahu artinya.
Hari itu menjadi hiburan tersendiri saat gelap mulai menyapa, ya saya menulis diary saat anak-anak hendak tidur agar bisa menulis dan mengajarkan kebiasaan menulis kepada mereka. Meski hanya menulis di buku catatan harian dengan kalimat yang hari ini terasa menggelikan, "dear diary.."
Hari ini, saya menulis tanpa mereka yang biasanya heboh mencari tempat duduk paling nyaman. Tanpa mereka yang berebutan untuk duduk di punggung atau pangkuan atau samping kiri dan kanan.. tanpa mereka yang akan mengambil alih sebagian besar lembaran buku dan memotongkan patlotnya lalu menangis karena ingin menukarnya dengan pulpen yang ku pegang.
Banyak hari yang tlah berlalu dan saya kembali bertanya,"benarkah hari-hari itu pernah ada?"
#catatandefa #oktoberdefa
Balananjeur, Jum'at 14 Oktober 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar