Pernah ngrasain patah hati? Bagaimana rasanya? And inilah patah hati terbesar saya, yakni saat mendapat kabar ananda menderita sakit yang dengan sebab yang sama (autoimun).
Rasanya sesak dan tiap ingat teh langsung nangis. Bukan, bukan tidak meyakini taqdir Allah. Karena saya tetap meyakini bahwa yakin dan shabar bukan berarti kehilangan naluri keibuan atau emosi kita sebagai manusia.
Menangis bukan berarti tidak yakin ataupun tidak shabar, saya menenangkan diri sendiri saat tangis menjadi pengiring langkah. Merasa sendiri dan patah hati, ingin berbincang dengan seseorang yang bersedia mendengar.. tapi, saya takut justru mendapat kalimat yang hanya akan melukai semisal, "namanya juga hidup. Sehat dan sakit hal biasa." Dalam kondisi itu, kalimat seperti itu bukanlah penenang bagi ibu yang berduka namun hanya mengundang sesak. Ibu tahu dan meyakini itu, namun saat itu ibu hanya butuh melepas resah hati dan segala emosi jiwanya.. itulah yang saya rasakan
Membayangkan ananda berjuang mengendalikan atau mungkin melawan sakitnya sendiri tanpa ibu disisinya membuat hati diliput duka yang sangat.
Ia yang tidak akan mengeluhkan sakit padahal ibu sangat tahu sakit seperti apakah itu, bagaimana sakitnya , ibu sangat memahaminya karena merasakannya sendiri; sakit yang sangat. Semua bayangan itu membuat ibu senantiasa menangisinya..
Meski ada ayah yang memberikan pundak, menyiapkan telinga dan bahu nya.. ibu tetap merasa sendiri. Setiap waktu bertanya-tanya, "bagaimana kabarnya? Apakah dia sedang sakit?" Lalu meminta padaNya agar ia kuat. Hanya itu yang bisa dipintanya meski harapannya jauh lebih dari itu; sembuh.
Ibu pernah menangis histeris karenanya.. bersabar dikali pertamanya tak luput dari airmata dan luka yang sangat, sampai akhirnya memilih menepikan langkahnya dan menjauhi hingar yang dirasanya menyesakkan, ananda berada di ujung gelisah ibu.
Ia Ridha, menemukan hikmah dibalik peristiwa itu, namun ia tidak bisa menahan derasnya airmata dan duka. Itulah yang terjadi hari itu.
Ya hari itu menjadi patah hati terbesarnya, namun akhirnya ia menemukan kembali kestabilan emosinya meski tanpa melepas laju airmatanya. Airmata itu hanya karena ia yang memang mudah menangis karena hal apapun.
Duhai, menjadi ibu itu ternyata melupakan sakit yang lain dan senang yang lain untuk berjumpa rasa sakit dan senang karena sebab lainnya. Ibu kini menyadari, yang dikejarnya bukan lagi segala sesuatu tentang dirinya. Airmatanya bukan lagi tentang dirinya. Tawa dan senyumnya ternyata bukan lagi tentang dirinya.
Bahkan jika dia merasa marah ataupun kesal karena sesuatu, alasannya hanya untuk melindungi anaknya. Ibu semakin menyadari, dia harus lebih kuat karena sekuat apapun anak-anak, mereka butuh ibu selama ibu itu masih ada. Ah ya, ibu akan menangis jauh lebih keras saat dirasa anaknya berduka. Ibu tertawa lepas saat anaknya terlihat senang.. dan saya kini seorang ibu.
Balananjeur, Senin, 31 Oktober 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar