Kang Wawan bilang, "insyaAllah nanti Abi buatkan balkon untukmu, sayangku."
Saya ingin minum coklat berdua disana, sambil melihat hijau dedaunan dan pesawahan dari sana. Tanpa berbincang pun tak apa yang penting bisa duduk berdua seperti yang biasa kami lakukan di awal pagi saat ia menyeruput kopi panasnya lalu digangguin de Olin yang menghabiskan kopinya sambil nyengir, "aku haus." Tanpa merasa bersalah diiringi tatapan kang Wawan seolah bertanya, "kok kopi Abi dihabiskan?" Hahaha... Selalu seperti itu setiap pagi.
Saya selalu bermimpi memiliki balkon di belakang rumah, tak apa kalau disamping atau depan pun..yang penting rumah ini ada balkonnya. Tempat saya mengurai sunyi yang entah kenapa hari-hari ini semakin terasa mengusik, membuat hati berisik saja hingga jemaripun sibuk merangkai aksara .
"Sayang, aku semakin lemah berkata-kata. You know that kosakata ku berantakan, aku hanya punya kalian sebag5teman ngobrol dan itupun sudah tidak seintens dulu. Aku semakin kesulitan berkata-kata apalagi jika harus menggunakan bahasa ku sendiri.. lihat, bahasaku semakin gado-gado, apa yang harus kulakukan? Aku semakin lemah dalam berkomunikasi." Keluhku pagi ini saat kami duduk di kursi samping rumah sambil melihat langit pagi yang dingin..
" Siapa bilang Ummi lemah berkata-kata?Kalimatmu lebih panjang dan istriku lebih pandai berkomunikasi dari Abi."
"But see, aku kesulitan menggunakan full bahasa Ibu ku sendiri. Bahasaku sendiri. Kesannya seperti so' dan aku khawatir membuat orang yang kuajak ngobrol bingung memahami maksud ataupun arti ucapanku." Yaah, ini memang kekhawatiranku karena itu saya lebih memilih jadi pendiam... Hmm kadang-kadang yang sangat kadang 😂
"Kamu adalah wanita terbaik yang pernah Abi temui, istri terbaik, ibu terbaik dan tidak ada yang salah dengan kemampuan berbahasamu. Tidak apa-apa untuk tetap berkata dengan cara atau bahasa apapun yang membuatmu nyaman."
Ah, saya masih memimpikan balkon, saya akan duduk sambil menyiapkan diri bertemu sunyi yang semakin kentara. Ya, akhir-akhir ini jauh lebih sensitif dan mudah nangis dibandingkan sebelumnya. Tak ada hubungannya impian akan balkon dengan sunyi dan tangis, hanya ingin berbagi cerita saja tentang lintas pikiran pagi ini. Disini, di bangku yang sengaja kang Wawan simpan beratapkan langit agar istrinya bisa menikmati suasana balkon seperti di rumah masa kecil dulu.
Mimpi, impian, bermimpi.. masih tepatkah memiliki impian di usia ini?
Dulu Umar bertanya, "apa impian ummi?" Ternyata impian ummi semua tentang anak-anak, tak ada yang tentang umminya. Lalu akhirnya ummi jadi terpikir untuk bertanya lagi ke hati ummi sendiri, "pengen apa?" Terutama setelah kalian beranjak besar dan ummi tinggal dalam kesendirian ummi meski hanya sekian jam sampai kalian kembali.
Mulai deh ummi bikin list pengen ini dan itu. Sebagian sudah dilakukan, sedang diusahakan dan ... insyaAllah akan diusahakan. Dan ummi tak lagi berpikir tepat atau tidaknya memiliki impian untuk diri ummi sendiri... Karena impian membuat ummi memiliki harapan yang jauh lebih besar terutama untuk fase saat ummi tak lagi full bersama kalian.
Saat ummi bertambah usia dan tertinggal sendiri di balik jendela menatap kalian..
Ummi ingin melihat kalian memakai toga saat wisuda, impian seperti ini membuat ummi tersenyum dan berusaha sehat. Ummi ingin melihat kalian menikah, memiliki anak lalu ummi bisa bermain bersama anak-anak kalian... Impian seperti ini pun membuat ummi bersemangat untuk segera pulih dan semakin pulih.
Termasuk impian punya balkon, impian untuk mondok di pesantren khusus orang tua sejenak bersama Abi. Seminggu misal, agar kami bisa merasakan seharian penuh bersama Al Qur'an..
Kajian bersama lalu kembali ke rumah dengan semangat baru yang lebih baik
Aduhai mimpi
Rabu, 18 Januari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar