Banyak jejak yang berlalu sekedar, "oh pernah ada kisah seperti itu." Tapi karena tidak dituliskan, kalau misal ada ibrahnya teh maka hanya berlalu sekedar kenangan saja. Jadi saat ada yang bertanya, "teh de, kenapa teteh suka menulis?" Atau bahkan pertanyaan yang cenderung bikin Ill feel misal, "curhat itu bukan di tulis." Saya bisa menjawab dengan penuh keyakinan alasan kenapa saya merasa harus menuliskannya.
Tulisan receh dengan pengalaman yang mungkin terkesan biasa saja, "setiap kata akan sampai kepada mereka yang Allah perkenankan untuk sampai. Setiap cerita akan diambil saripati hikmahnya sekecil apapun oleh mereka yang akan mencari hikmah dan pembelajaran dari setiap kisah." Alasan lainnya, saya ingin anak cucu dan keturunan saya mengenal saya melalui pemikiran saya.. dan pemikiran bisa didapat dari tulisan pemiliknya. Tidak peduli seperti apapun rupa tulisannya, sereceh apapun .. setelah jasad menyatu dengan tanah kelak, setiap tulisan akan menjadi pesan dan sejarah hidup saya untuk anak cucu dan keturunan serta orang-orang yang ditinggalkan. Yah, menulis adalah cara saya menyiapkan hari esok; didunia dan saat berpulang kelak.
Hari-hari ini saya membuat email khusus atas nama suami dan anak-anak lalu mengirim surat via email mereka masing-masing. Saya bercerita banyak tentang hari ini kepada mereka; apa yang dirasakan, dialami, dipikirkan bahkan diharapkan. Bukan untuk mereka baca hari ini, namun kelak saat qodarullah taqdir perpisahan menyapa.
Saya juga menulis surat untuk diri saya sendiri terkadang untuk saya di masa depan dan terkadang untuk saya di masa lalu. Yaaah, tidak banyak yang bisa saya lakukan. Saya hanya memiliki lebih banyak waktu untuk menulis, membaca dan melakukan kegiatan ibu-ibu pada umumnya.
Mendapati pesan seorang teman saat meminta nasihat seolah menarik kembali memori sendiri, suatu hari saya meminta nasihat seorang teman.. kondisiku sedang sangat membutuhkan nasihat, "Dede itu ...." Jawabannya adalah hal-hal terkait aib yang dia dengar dari orang lain, "de, kata si Anu Dede itu begini dan begitu. Harusnya Dede itu...." Waktu itu saya shocked. bayanganku tentang nasihat adalah bukan seperti itu. Saat saya shocked, saya mulai berpikir lagi, "kenapa saya harus shocked? Boleh jadi itu cara Allah mengingatkan. Lisan ini tetap dalam kendali Rabbul 'aalamin, begitupun dengan hati dan apa yang terucap dari lisan orang tidak akan terjadi kecuali atas kehendak Allah. Kenapa hati saya merasa ingin mendapatkan nasihat? Kenapa lisan saya mengucapkan permintaan itu? Kenapa minta nasihatnya kepada dia? Kenapa dia menasihati dengan cara seperti itu?" Saya malas berpikir hal-hal diluar kendali diri sendiri ,misal terkait motif orang lain atau mungkin orang lain kesal kepada saya dsb. Yang kemudian saya yakini setelah itu adalah, "pasti Allah punya rencana kenapa seperti itu. Allah kayaknya sedang ingin menunjukkan bahwa saya harus segera mengevaluasi diri." Mengevaluasi bukan berarti menyalahkan diri sendiri, mendengar pendapat orang lain tentang kita (bahkan jika yang didengar adalah hal buruk yang tidak ingin kita dengar) bukanlah berarti fokus pada apa kata orang karena tak jarang justru kritikan dari orang lain lah yang menjadi cermin paling jujur atas kita, membentuk kita menjadi lebih baik.
Tidak merasa nyaman dengan kritikan adalah hal yang wajar karena kita adalah manusia. Siapa juga yang ingin dikritik apalagi jika kritikannya sampai kepada kepribadian kita segala?
Tapi jika kritikan yang sampai justru bukan cerminan diri kita, ya sudah abaikan saja dan kita berserah pada apapun penilaian orang tentang kita. Persepsi orang tentang kita adalah urusan mereka dan bukan urusan kita.
Namun tetap pada akhirnya melalui kritikan itu kita bisa berkaca; memuhasabah diri kita. Dibandingkan pujian yang tidak jarang justru membuat kita abai pada kekurangan.
Balananjeur, Kamis, 23 Februari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar