Salah satu yang sering kami debatkan adalah, "saya lebih faham, karena saya mengalaminya." Ini yang saya rasakan, dan kang Wawan juga beranggapan bahwa dia lebih memahaminya karena dia menghadapi 2 orang yang disayanginya berada dalam kondisi yang sama.
Perdebatan yang tidak penting banget ya, nyatanya saya menikmati perdebatan seperti ini. Meski kenyataannya bukan debat sengit ala saya di masa lalu, hanya sekedar keluhan ringan, "Abi, aku tuh lebih faham bagaimana rasanya, karena aku juga mengalaminya."
Ya nyatanya yang mengalami akan jauh lebih memahami; bagaimana sakitnya, bagaimana sunyinya, bagaimana lain-lain yang harus dihadapinya. Ia lebih memahami situasi apa yang sedang dihadapi dan kondisi seperti apa yang sedang terjadi. Alasan kenapa ibu jauh lebih sensitif dan mudah menangis setiap kali mengingat kondisinya adalah karena ibu tahu rasanya.
Saya pernah mendebat taqdir hanya karena kasih sayang meski saya tahu itu tidak diperbolehkan, sekali lagi, bersabar di kali pertama ternyata tidak semudah yang diucapkan, "Robbana, kenapa dia Engkau uji dengan cara seperti ini? Dia selalu berprasangka baik atas Engkau, tak pernah berpaling meski sebentar, menjaga lisan dan semua yang ada pada dirinya karena Engkau. Robbana..." Saya menangis sangat keras dan mengeluhkan banyak kesedihan di hari pertama itu. Saya tahu bagaimana anak ini, dia akan selalu mengatakan, "aku baik-baik saja." Sesakit apapun dia. Akan sulit bagi orang-orang disekelilingnya memberikan bantuan jika dia sakit karena dia tidak akan mengatakan kalau dirinya sedang sakit. Namun nyatanya tetap saja Allah lebih mengenalnya hingga ujian ini sampai padanya. Saya kini hanya menunaikan bagian saya atas taqdir yang berlaku atasnya.
Masih mendebat taqdir? Itu hanya di kali pertama... Ah ibu seringnya termakan duka yang dalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar