Ini kisah pertama yang akan saya ceritakan tentang guru saya, namanya pak Guru Ahmad. Beliau sekarang sudah pensiun, sudah sangat lama, setahun setelah kami memutuskan hijrah ke kota Bandung, jadi sekitar 17 tahun yang lalu.
Beliau kepala sekolah sekaligus guru kelas 5 dan 6 saya, jadi waktu saya kelas 5 beliau mengajar di kelas 5 dan saat saya naik kelas 6 beliau pun menjadi wali kelas 6. Jadi saya dan teman sekelas diajari selama 2 tahun oleh beliau.
Selain mengajar di MI beliau juga mengajar mengaji di masjid Al Ali ba'da Maghrib dan ba'da shubuh, mengajar Diniyah di waktu siang.. MasyaAllah sangat diberkahi waktu beliau, memiliki 2 anak yang keduanya menjadi siswa-siswa berprestasi dari mulai MI sampai jenjang kuliah, yang pertama menjadi mantri kesehatan dan yang kedua lolos masuk STAN dan yaah bekerja dalam bidang yang dipelajarinya tersebut.
Well, pak Guru Ahmad yang ternyata sepupu kang Wawan, tentu saja hari itu saya tidak mengenal ataupun terpikir akan menikah dengan sepupu dari guru MI saya tersebut. Bahwa saya akan menjadi istri dari sepupunya, saya di murid yang paling susah dihadapi dan paling sering berontak..
Ah ya, saya mungkin lebih seperti de Olin saat menjadi murid MI, bukan murid yang manis seperti teteh Aufa namun senang belajar seperti teteh Aufa. Hhh kebalik ya, anak-anak yang seperti ibu bukan ibu yang seperti anak 😅
Tetap saja tidak akan ada yang berubah meski saya dan teman-teman protes, "hapalkeun perkalian sekian! Ke ku bapak di test saurang-saurang!"
"Bapak da ayeunamah teu aya pelajaran matematika." Beliau tidak pernah bergeming..
Kami pun kembali ke sekolah untuk menghapalkan perkalian yang dimaksud. Meski dengan terpaksa bahkan adakalanya terasa dongkol tapi tetap saja kami menghapalkannya.
Bersama pak guru kami membuka dan menutup pelajaran dengan menghapalkan perkalian, setiap hari, tidak ada hari tanpa perkalian (terkadang pembagian). Di test satu persatu, yang tidak bisa menjawab belum bisa pulang jadi kami akan berusaha menghapalnya agar bisa segera pulang.
Hiji kali hiji, hiji. Dua kali hiji, dua...dst dengan intonasi hafalan saat itu. Nadanya selalu sama, lirik angka yang berubah-ubah, namun rasa bosan yang mulai bertambah erat.
Saya mulai berontak, mengulang sesuatu berulang kali terasa membosankan.. saya merasa sudah hapal dan terasa mengesalkan jika harus terus menghapal yang sudah dihapal hanya karena ada teman yang belum hapal. Saya masih kecil dan selalu haus akan hal baru (ilm) namun tidak tahu kalau ilmu haruslah berdampingan dengan adab pencari ilmu.
Setiap kali pak guru menguji hapalan perkalian, saya akan menjawab, "teu terang." Atau "tidak tahu." Kalau dalam bahasa Indonesia. Entah, saya tetap bisa pulang meski menjawab seperti itu.."lima kali lima?" Tanya pak Guru, "teu terang." Jawab saya. Ah, mungkin karena saya mulai membuat guru saya kesal dengan ketidaksopanan saya. Bukankah sangat tidak sopan menjawab tidak tahu saat ditanya oleh guru?! Ah saya malu mengingat hari itu..
Waktu itu, saya merasa butuh alasan, "kenapa harus menghapal perkalian?"
Namun sejatinya yang paling dibutuhkan justru sifat Ridha, jadi harus yakin kalau guru pasti punya alasan yang baik. Nggak perlu merasa kesal ataupun terpaska apalagi sampai membuat 'kekacauan' dengan menjawab, "tidak tahu." Untuk setiap pertanyaan.
Di rumah, saya paling seneng ketemu huruf atau angka. Setiap kali Ayah membelikan buku baru baik buku bacaan maupun buku yang berisi soal-soal matematika teh pasti langsung dilahap habis hari itu juga, namun karena disekolah pun lebih banyak belajar matematika, buku-buku matematika yang dibelikan oleh Ayah tidak lagi membuat saya sepassionate sebelumnya. Saya tetap mempelajarinya namun dengan perasaan yang berbeda.
Bertahun kemudian saya mulai menyadari manfaat menghapalkan perkalian, pak Guru memang hanya mengatakan, "ngke oge bakal karasa manfaatna ku aranjeun.." saat saya bertanya kenapa harus selalu belajar hal yang sama. Bertahun kemudian sejak hari itu saya mulai memahami manfaat yang dikatakan pak Guru waktu itu; kenapa mengulang-ulang pelajaran, kenapa menghapalkan perkalian, kenapa menunggu teman yang belum hapal, dan kenapa pak Guru tidak memarahi saya yang selalu menginterupsi.
Saya mulai merasakan manfaat dari belajar itu setiap hari... Manfaat dari sesuatu yang tidak saya sukai. Ya, maha benar Allah dengan segala FirmanNya, "boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal itu baik buatmu.." Allah Maha Tahu, dan pak Guru pun tlah diberikan pengalaman terkait manfaat mempelajari sesuatu secara berulang.
Bertahun kemudian sejak hari itu dikamar saya dipenuhi angka dan aksara, belajar hingga larut dan bangun sangat awal untuk belajar. Saya tidak kesal saat harus mendampingi teman yang kesulitan memahami suatu materi, tak lagi melakukan aksi tutup mulut saat harus mengerjakan soal di depan kelas bahkan seringnya minta sendiri untuk maju ke depan.
Belasan tahun kemudian Allah taqdirkan saya menjadi Ibu, mendampingi anak-anak hebat dengan sifat dan karakter serta passion yang tak sama. Setiap hari bermain dengan angka dan aksara dengan mereka.. mengajak mereka untuk mencintai ilmu dan sami'na wa atho'na atas ilmu yang baik yang sedang diajarkan guru-guru mereka.
Berpuluh tahun kemudian, 2 Minggu yang lalu saya menjumpai pak Guru dan menyampaikan ucapan terimakasih karena tlah mengajari saya. Setiap perpisahan anak-anak saat kebetulan diminta memberikan prakata akan selalu ada nama pak Guru dalam ucapan terimakasih dan doa saya.
Pak Guru, pak Guru Ahmad, beliau guru yang dulu sering mendapatkan pemberontakan dari saya.. Guru yang sangat berjasa bagi saya. Apalagi saat kini saya semakin sering lupa, kembali mengingat dan menghapal seperti metode yang pak Guru ajarkan membuat ingatan saya bertahan agai lama..
Hafalan Al Qur'an dan matematika, bahkan di usia tak muda lagi, itu sangat bermanfaat..
MasyaAllah, jazakumullah khairan Katsiran pak Guru.
Balananjeur, Sabtu, 27 Mei 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar