Sabtu, 08 Juli 2023

189

Pada tahun 2016 atau sekitar 7 tahun yang lalu saya menerbitkan sebuah buku antologi bersama teman-teman  dengan judul tulisan nasihat cinta ayah. Hmm kebayang kan apa yang tertulis disana? Nasihat cinta ayah, yups nasihat cinta ayah yang tentu saja berisi keping ingatan saya tentang sosok ayah.

Pada tahu kaaan kalau seseorang itu dikenang saat ia tlah tiada, apakah tiada karena meninggal atau pergi jauh hanya terpisah jarak. But intinya, ingatan kita jauh lebih bergemuruh kala orang yang kita kasihi jauh dari jangkauan pandang kita. Begitupun dengan saya, terasa memerah netra kala mengingat hingga deras membasahi ujung mata. Apa sebab? Ingatan.

Sesuatu yang terasa tidak menyenangkan pada saat terjadi, misal dibangunkan untuk shalat tahajud, di suruh ngaji atau ini dan itu.. hh seolah nggak ngerti banget kalau kita teh masih ngantuk, masih pengen main, dan lain sebagainya pokoknya enggan buat taat apa kata orang tua teh. Lalu setelah semua berlalu dan kita tumbuh dewasa, mulailah segala ingatan itu menjadi saat-saat yang dirindukan, "andai dulu mijitin ortu teh dengan senang hati tanpa nunggu di suruh." Andai ini dan itu...wah jadi panjang banget pengandaian bukti sesal. Namun yang pasti apa yang terjadi pada masa-masa itu menjadi sesuatu yang membentuk kita menjadi diri kita saat ini.

Contohnya saya. Well, saya tidak perlu menyebut nama saudara untuk membuat permisalan, bukan? Itumah biar jadi bahan renungan saja lalu membuat kita semakin ingat bahwa kita saat ini termasuk semua yang ada pada kita tidak lepas dari peran orang tua, dari peran mamah dan apa.

Saya bisa menulis dan biidznillah merampungkan beberapa antologi karena Apa. Why? Atuh tiap kali Apa pulang kebagian bacain catatan Apa yang mau ngetik. Tiap waktu melototin aksara dan kertas. Dari bangun sampai tidur yang terlihat teh tumpukan buku hingga diam-diam jatuh cinta dengan aroma kertas dan pena.

Mulai nulis diary waktu kelas 4 dengan isi, "aku tidak suka.." yaah khas anak-anak pada masanya namun dalam versi tulisan saat mengurai rasa. Waktu itu tentu tidak faham bahwa semua itu akan membentuk menjadi seseorang yang seneng banget nulis.

Sering aneh lihat Apa yang terbangun tengah malam hanya untuk tik tik tik tik, mengetik di mesin tik tua nya. Aneh lihat Apa yang nulis di sembarang tempat lalu dialihkan ke kertas...tunggu, waktu itu kayaknya masih kertas buram deh, bukan kertas HVS. 

Lalu...semua itu kemudian terjadi kepada saya. Kepala seolah dijejali dengan banyak huruf hingga bisa tiba-tiba terbangun tengah malam untuk menuliskannya untuk kemudian tertidur lagi. Tidak nyaman tanpa membawa pena dan kertas setiap bepergian, melihat sesuatu di sekitar sebagai hal yang merasa harus dituliskan.

Yah, orang tua membentuk kita menjadi diri kita yang sekarang. So, kita nggak pernah akan bisa bilang, "apa yang saya bisa adalah hasil jerih payah saya." Atau, "apa yang dimiliki hari ini adalah murni hasil usaha saya." 

No. Big No.

Why? Kita adalah produk orang tua kita.

A Quthb pernah bercerita bahwa Mas Syarif di Masjid Salman ITB mengatakan begini: salah satu diantara amalan yang akan selalu mengalir pahalanya adalah doa anak shaleh. Apakah itu anak biologis ataukah ideologis.. yad'uu lahu, mereka mendoakannya dan doa itu sampai kepada orangtuanya sebagai amal jariyah dan doa yang InsyaAllah dikabulkanNya.
Lalu doa seperti apa yang kita panjatkan? Salah satunya adalah panjangnya amalan mereka. Yah, kita kemudian meneruskan Amal baik yang diusahakan orang tua kita.

Amal baik seperti apa? Sekali lagi, kita adalah produk orang tua kita. Saya dengan tulisan saya dan saudara-saudara saya yang lain pun mengdopsi amalan lainnya dari mamah dan juga Apa.

Ada yang pandai berorasi (bukan baca puisi wkwkwk), ada yang pandai berdagang, ada yang pandai membangun relasi, ada yang bisa mengajar...dan lain sebagainya.. semua itu hasil didikan orang tua bahkan mungkin tanpa orang tua kita sadari.

Well, this is my curcol time.
Waktu yang tepat buat curcol 😂

Balananjeur, Sabtu, 8 Juli 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh