Siang itu sekitar pertengahan tahun 1996, saat Apa dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kota kami karena pembengkakan jantung dan darah tinggi.
Saya masuk ruang ICU ditemani suster yang sedang berjaga, Mamah dan beberapa saudara saya menunggu di ruang sebelah, sebuah kamar yang diperuntukkan bagi keluarga pasien ruang ICU.
Saya menyalami Apa yang terbaring dengan beberapa selang dan kabel yang tidak saya ketahui namanya, sedih sekali melihat Apa terbaring disana. Tapi Apa tetap menyunggingkan senyum seolah beliau tidak sedang merasakan sakit. Meski sesekali Apa merintih, beliau tetap berusaha memperlihatkan ketegarannya seolah menunjukkan pada kami bahwa Apa baik-baik saja.
Apa ingin menenangkan kami dan tidak membuat kami bersedih, tapi bagaimana bisa kami percaya Apa sedang dalam kondisi baik sedangkan beragam selang dan kabel terpasang di tubuh Apa di ruang ICU, ruang yang diperuntukkan untuk penderita sakit kritis.
Saya cium punggung tangan Apa dan mengucapkan salam sambil menahan air mata yang berdesakan ingin keluar dari netra saya ynag mulai basah.
.
“Dede, tadi sekolah?” Tanya Apa terbata
“Ya.” Jawab saya pelan
“Dede bawa buku tulis dan pulpen?”
“Ya.”
“Bawalah buku dan pulpen kesini. Apa ingin menulis.”
Saya ingin membantah, melihat kondisi Apa yang terbaring lemah bahkan untuk menggerakkan tanganpun beliau terlihat kecapean. Tapi, saya tetap menurut dan keluar membawa buku tulis dan pulpen, kemudian kembali ke ruang ICU.
“Tuliskan ini untuk Apa!”
Apa kemudian mendiktekan semua yang harus saya tulis. Dengan suara pelan dan terbata, sesekali terdengar Apa menghembuskan nafas panjang karena sesak akibat penyakit komplikasinya. Kemudian mendiktekan lagi, dan begitu seterusnya.
Apa berusaha berfikir keras semua yang harus saya tulis, Apa berusaha mengatakannya dengan fasih agar saya bisa menulis sesuai dengan apa yang Apa maksudkan. Saya menajamkan pendengaran agar semua yang saya tulis, benar sesuai yang di ucapkan Apa. Untunglah suasana di ruang ICU sangat lengang hanya ada suara monitor yang bergerak berdetak menunjukkan detak jantung pasien disana.
“Tuliskan ini dengan mesin tik dan simpan di meja Apa.”
“Ya Apa.” Akhirnya pertahananku runtuh, saya menangis dan memegang tangan Apa.
“Apa, Apa sedang sakit. Kenapa Apa harus tetap menulis?”
“Apa tidak tahu sisa usia Apa sampai kapan. Dan selama kita masih memiliki kesempatan, kita memiliki kewajiban untuk menyampaikan ilmu. Semoga itu jadi hujjah Apa di hadapan Alloh. Jadilah saksi untuk Apa, nanti.!”
Apa meminta saya untuk menjadi saksi bahwa beliau masih melakukan salah satu kewajibannya untuk amar makruf nahyi munkar, untuk menyampaikan amanah ilmu dengan tidak menutupinya meski tangan dan bahkan lisan telah sulit untuk berkoordinasi dengan tekad beliau. Apa bukan hanya sedang meminta saya untuk menjadi saksi, tapi beliau sedang mengajari saya untuk melakukan hal yang sama seperti yang sedang beliau kerjakan, “no excuse untuk sebuah kewajiban, untuk kebaikan, fillah.”
Sakit, bahkan sakit kritis sekalipun bukan alasan kita berhenti menyampaikan ilmu ataupun menuntut ilmu.
Dalam kondisi apapun, sesulit apapun, selalu ada peluang untuk tetap berkarya untuk membina generasi selanjutnya, kecuali jika nyawa telah terpisah dari raga.
Sakit, adalah tarbiyah dan ujian yang insya Alloh jadi kafarat jika kita menjalaninya dengan ikhlas, bukan dengan sumpah serapah atau tangis dan jeritan pilu menyalahkan taqdir tanpa ikhtiar untuk berusaha sembuh dan tetap melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang diberi tugas sebagai kholifah fil ardh.
Kondisi jantung Apa membuat Apa kesulitan menggerakkan tangan dalam waktu yang agak lama, kesulitan untuk bicara dengan suara lantang sebagaimana biasanya, kesulitan untuk berdiri di depan mimbar masjid ataupun membina para Aktivis Muda Islam seperti yang biasanya Apa lakukan, kesulitan untuk mengajari kami bagaimana menghadapi kedzoliman para pendusta Alloh dengan suara lantang dan tangan terkepal bukan hanya dengan hati yang adalah selemah-lemahnya iman.
Kesulitan untuk duduk menuliskan huruf demi huruf di mesin tik tua yang menjadi saksi dakwah bilqolam apa sambil sesekali menyenandungkan sholawat, asmaul husna, murojaah awal juz 29 ataupun nasyid penyemangat, ‘berpegang Qur’an dan Sunnah Nabi, kita laksanakan..’ Dan nasyid-nasyid lainnya.
Kondisi Apa hari itu membuat Apa kesulitan untuk melakukan aktivitas yang biasa Apa lakukan.
Tiba-tiba hati dilingkupi rindu saat menunggu Apa setiap hari kamis pagi atau sore sambil membantu mamah menyiapkan makanan kesukaan Apa.
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu yang amat sangat mendengar suara mesin tik Apa disertai muroja’ah Apa di sepertiga malam.
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu mendengar dering telepon di sepertiga malam saat Apa menelpon dari Bandung untuk membangunkan kami untuk mendirikan sholat Sunnah yang diutamakan, sholat tahajud. Sesuatu yang saat Apa sehat sering membuat kami menggerutu kesal karena harus terbangun saat kantuk menyergap dan berselimut terasa lebih menyenangkan.
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu yang teramat sangat melihat sorot marah Apa saat kami lalai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslimah.
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu mendengar suara Apa yang berkata dengan suara tegas saat saya membuka jilbab hendak keluar rumah disaat usia saya sudah 12 tahun, “pakai kerudungnya!”
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu yang amat sangat mendengar ‘hariring’ Apa menyanyikan lagu Bandung kota kembang, ‘Bandung… Bandung…Bandung nelah kota kembang.”
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu saat Apa mengusap kepala saya dan membisikkan sebaris do’a.”Allohumma Robbannas adhibil ba’sa ashfii antasysyaafi…”
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu yang amat sangat mendengar lantunan ayat Al Qur’an setiap kali Apa pulang dari masjid Al Furqon
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu mendengar suara Apa berbincang dengan tamu yang datang silih berganti jika Apa sedang ada di rumah
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu yang amat sangat mendapat tugas mencari arti sebuah kata dari KBBI atau ensiklopedi yang sebenarnya sudah Apa tahu jawabannya
Tiba-tiba, hati dilingkupi rindu saat kami berjalan bersama menuju masjid untuk sholat ‘ied atau saat ada kegiatan apapun di masjid.
Rindu saat Apa mengajak kami membawa sikat, sabun, lap, sapu dan sabun lantai untuk membersihkan masjid Al Furqon dan toiletnya di suatu hari dihari jum’at
Rindu mendengar suara Apa menyuruh kami sholat sedang kami mengerjakannya dengan enggan dan seolah terpaksa sampai kemudian kami menangis menyesali keterpaksaan itu.
Rindu berjalan bersama Apa menyusuri kota Tasik, mengunjungi rumah demi rumah shahabat-shahabat Apa untuk silaturahmi dan berdakwah. Ya, berdakwah dan silaturahmi…itulah Apa. Menjelaskan suatu bahasan tertentu dan mendiskusikannya dengan sahabat-sahabat yang beliau temui.
Rindu saat Apa menyuruh membagikan puluhan amplop di awal bulan untuk diberikan kepada para janda dan lanjut usia
Rindu mendapat tugas memberikan beras dan makanan pada setiap rumah yang Apa yakini tak ada makanan disana, tanpa suara gaduh dan menarik perhatian orang lain
Rindu saat melihat nini Enah terlihat berbinar senang ketika melihat Apa menerima dua buah pisang ‘galeung’ dari nini Enah dengan sorot mata penuh rasa syukur. Pisang yang sengaja nini simpan untuk Apa, bahkan nini tidak memberikannya pada putra putrinya sendiri, “ini pisang kesukaan jang Yaya, mau nini sembunyikan sampai Apa Dede pulang.” Cinta yang indah yang membuat saya iri mengenangnya, padahal Apa hanyalah salah satu dari sekian banyak keponakan nini yang bahkan tak pernah ada dalam pengasuhan nini.
Semua itu seolah slide film yang terpampang jelas dalam ingatan yang membuat saya menangis dan ingin memeluk Apa. Tapi tangan yang gemetaran dan kaki serta lisan justru membisu kaku, hanya sebuah ucap dan do’a ,”Apa, segeralah sembuh. Nanti, putrimu ini tak akan pernah lagi menyusahkanmu. Saya akan selalu mengikuti kata-kata Apa tanpa membantah atau menggerutu. Saya tidak akan mengeluh lagi saat diminta memijit tangan Apa. Saya akan selalu membacakan dan menulis untuk Apa. Saya tidak akan cemberut lagi saat harus membagi uang dan baju saya untuk anak yatim. Apa harus sembuh!!”
Saya terisak lagi hari ini, kerinduan saya terobati dengan kesembuhan Apa saat itu. Tapi kini, semua itu sudahlah usai… rindu ini hanya terbatas pada kata dan memori yang tak kan pernah sanggup kugapai kembali. Kisah itu sudah berakhir saat dua tahun kemudian Apa dipanggil-Nya kembali setelah menunaikan tugas terakhirnya di forum Murobbi di Kampung Paseh Desa Puteran Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya Agustus 1998 silam.
Rindu saya hari ini hanya terbersit dalam sebuah tekad yang kadang sering terkalahkan excuse yang membuat saya berhenti dan tertegun diam dalam excuse itu.
Apa, ini putrimu yang belum setitik baktipun kuhaturkan padamu, tak pernah seucap kata terima kasihpun kuhaturkan padamu.
Putri ke-9 Apa yang sering Apa bilang seperti Margaret thatcher karena selalu membaca dengan cepat. Saya tahu, Apa tidak sedang membuat saya mengidolakan Margaret karena Apa lebih sering bercerita tentang para Nabi dan Shahabat serta Shohabiyah serta orang-orang sholeh.
Ini putrimu yang ingin sekali mengatakan bahwa saya sangat berterima kasih padamu, bahwa saya bersyukkur terlahir sebagai putrimu, bahwa saya menyesal atas setiap lalai dari berbakti padamu, dan bahwa saya… putrimu ini Apa, saya sangat menyayangimu.
Hatur nuhun Apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar