Untuk apa? Sebagai jejak, jejak ingatan sekaligus pengingat.
Di bagian kedua ini saya ingin berbagi kisah beberapa pertanyaan Ustadzah yang tidak saya jawab sepanjang yang akan saya tuliskan disini.
Berapa penghasilan sebelum putri kami mendapat manfaat dari beasiswa BAZNAS?
Ini pertanyaan pertama yang sangat membekas dan saya ingat. Mohon maaf pada sebagian orang yang beranggapan bahwa mengurai kata terkait kondisi keuangan sebagai sebuah keluhan atau mungkin aib 🙏 mungkin anda akan merasa tidak nyaman saat mendapati seseorang seolah dengan mudahnya menuturkan kisah penghasilan ataupun pengeluaran sehari-harinya. Karena bagi saya sendiri, hal-hal seperti ini bukanlah sebuah keluh ataupun aib, jadi saya tetap menuliskan kisahnya di sini. Semoga Allah titipkan ibrah yang bisa di ambil darinya..
Suami saya bekerja sebagai guru honorer dengan kisaran gaji yang pernah membuat seorang teman berucap, "segitu? Mana cukup? " Saya tidak akan menuliskan nominalnya disini, tapi sebagai gambaran, gaji guru honorer di daerah kami kisaran setengah juta an. Biar kelihatan ada juta nya, saya tulis setengah juta ya 😄
Bekerja di 2 lembaga pendidikan formal dan di 1 PKBM dengan nominal honor yang tak sama tapi kalau di jumlahkan keseluruhannya sekitar 2 juta kurang 500 rb an. Heee.. (Melihat ini tak harus menebak angka lagi, bukan?! 🤭).
Cukup? MasyaAllah, sungguh Allah yang Maha Mencukupi. Bahkan meski coba saya kotret di kertas buram antara pengeluaran harian hingga sebulan pun, jumlahnya tak pernah sama hasilnya dengan nominal pemasukan. Berkali saya kotret, jumlahnya tetap tak sama. Peribahasa, "besar pasak daripada tiang." Berlaku juga bagi kami.
Karenanya tak berlebihan saat seorang teman berujar, "segitu? Mana cukup?". Ya, tak cukup kalau di hitung matematis, akan irasional hasil nya saat di masukkan ke dalam rumus ilmu Pasti. Tapi, Allah Ta'ala berfirman, " Jika kamu bersyukur, maka akan Aku tambah nikmat itu.. "Itu tak bisa disandingkan dengan hitungan manusia.
Sesekali kami berhutang, itu pun sangat jarang dan tak banyak. Sekira 100 ribu an. Kalau pun agak banyak, misal 1 juta atau lebih, biasanya hutang dengan jangka waktu tertentu.. Dan sekali lagi, itu pun sangat jarang. Hutang itu biasanya untuk keperluan yang tiba-tiba dan mendesak sedang kami tak memiliki cukup tabungan. Untuk keperluan sehari-hari kami tidak berhutang. Kami tidak berhutang untuk membeli beras, minyak atau bahan makanan dan ongkos transportasi ataupun biaya sekolah. Semua sudah ada post alokasi nya dari rizki yang Allah titipkan melalui honor bulanan suami.
"Segitu? Mana cukup? " Itu bukan hanya pertanyaan orang lain, karena kami sendiri pun kadang di terpa tanya yang sama hanya berbeda kalimat saja. "MasyaAllah, kok cukup ya?" Kalau bukan Allah yang mencukupkan, semua itu pastilah tak kan cukup..
Darimana pertanyaan itu berasal?
Mari kita berhitung!
Dalam sebulan, kami menghabiskan rata-rata 30 kg beras dengan harga 11 rb perkilo nya. 5 liter minyak seharga 70 ribu rupiah an, biaya makan 20 ribu per hari kali 30 hari menjadi 600 ribu dalam sebulan (kurang lebih). Lalu, uang saku anak-anak yang bervariatif; Sulung 100 rb untuk 1 minggu (ongkos sekolah), Umar 35 ribu untuk 1 minggu, Aufa 18 ribu per minggu, dan Olin 15 ribu dalam seminggu. Transportasi (bensin) biasanya habis sekitar 400 ribu dalam sebulan. Gas 2-3 kali dalam sebulan, lalu kebutuhan listrik, spp sekolah, sabun dan sebagainya yang tidak saya tuliskan di sini, termasuk juga infak dan shadaqah yang kami yakini bahwa dalam berapapun harta yang Allah titipkan pada kita, sebagiannya ada haq orang lain yang harus kita berikan.
Berapapun nominalnya, itu hanyalah amanah yang harus kita tunaikan sebaik-baiknya.
Tak berlebihan dan sangat manusiawi saat ada yang bertanya, "memang cukup? " Karena kalau melihat gambaran pengeluaran dan melihat jumlah penghuni di rumah kami, pertanyaan seperti itu sangat wajar jika di tinjau dari sekedar hitungan matematika. Namun, ada yang jauh lebih pasti dari sekedar ilmu Pasti yang selama ini kita pelajari, bahwa kecukupan rizki itu tak terikat nominal jumlah, tapi pada hati yang merasa cukup.
Apa kami merasa cukup? Saya berpegang pada firman Allah yang mengabarkan bahwa kita adalah sesuai prasangka kita, dan kami ingin menjadi sesuai prasangka kami karena itu kami memilih untuk mengatakan, "Yaa Rabb, sungguh kami berlapang dada dan ikhlas atas apapun yang Engkau pilihkan dan berikan untuk kami. "
Di catatan selanjutnya saya ingin menuliskan tentang pertanyaan lainnya dari Ustadzah. Pertanyaan yang membuat saya seolah kembali di ajak merenung dan memikirkan kembali..
Di bagian selanjutnya saya ingin menuliskan tentang uang tabungan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar