Rabu, 18 Agustus 2021

Ibu, Apa Yang Membuatmu Lemah? (part 2)


Memang bukan tanpa alasan jika kukatakan rindu tiba-tiba berkecamuk menggelayut manja, bisiknya menyesakkan hingga detak jarum jam terasa melambat setiap harinya. 1,5 tahun yang lalu sejak dia kami antarkan menuju ke tempatnya mencari ilmu di sebuah pesantren di kota lain yang berjarak seharian penuh perjalanan dengan bis. Berbilang waktu kami menghitung setiap detiknya menanti saat perjumpaan, memeluk dan merekam semua jejaknya dalam ingatan menjadi hal yang paling di harapkan.

1,5 tahun bukan waktu yang singkat, terlebih saat melintas banyak kenangan yang melahirkan sesal. Tentang 12 tahun pertama saat ia dalam buaian yang terasa kurang dan penuh kekurangan. Ah, kenangan bagai slide film melintas cepat tanpa menungguku berbenah, bukan hanya kenangan tapi juga waktu yang pernah dilalui. Sangat cepat ia bergerak, sedang aku tak menyiapkan diri untuk bergegas menghampiri hari esok. Aku tak menyiapkan diri akan saat perpisahan yang pasti adanya, baik berpisah karena pendidikan, pekerjaan atau hal lainnya termasuk kematian. Aku meyakini akan adanya perpisahan tapi tak menyiapkan diri untuk perjumpaan dengan saat-saat itu.

Setiap hari aku menghitung detik, dentingnya terasa menyayat, “kapankah waktunya ia dapat kembali kami peluk?” bisik kerinduan menggeerogot setiap denyut nadi, isak menjadi teman setia setiap kali bisik rindu menyapa erat.

“Allohummarhamna, yaa Allah bantu dan kuatkan. Bimbing hati untuk mengikhlaskan! Bimbing hati untuk berlapang dan Ridha dengan sebenar-benar Ridha!” setiap waktu bertemankan doa untuk hati yang sering lemah dan rapuh, duhai cinta luar biasa ia terbawa arus rasa. Setiap hari juga berkawankan doa untuk ia dan mereka yang juga mengais rindu yang sama.

Hai berganti, banyak hal yang berubah. Melihat teman-temannya yang bertambah tinggi, membawa ingatanku pada gadis kecil kami, “ia juga sudah bertambah tinggi.”Aku memeluk teman-temannya setiap kali berjumpa mereka, menjeda kerinduan dengan memeluk mereka yang 6 tahun pertama menjadi kawan perjalanan pencariannya akan ilmu. Tangisku tak terjeda, aku tetap berkawankan rasa rindu dan sesal.

Melihat bangunan sekolah MI nya membawaku pada ingatan ia yang 6 tahun sebelum beranjak ke tempat barunya, membayangkan seperti apa kira-kira ia melewati waktunya bersama guru-guru dan teman-temannya di MI selama 6 tahun itu. Terbayang bagaimana ia dulu pulang ke rumah dengan isak yang membuncah di pelukan dengan berbaris kata, “ummi, ada yang memukulku.” Atau, “ummi ada yang bicara buruk.”

Dia yang hari-harinya penuh kasih dan hanya mendapat kalimat baik tak kuasa menghadapi kalimat buruk dan ... aku ingin sekali bergegas melindunginya dari sesuatu yang menyakitinya. Tapi alih-alih berlari mencari dia yang membuat putri kami menangis, aku malah memeluk dia erat dan memberi dia kekuatan untuk menghadapinya sendiri dengan aku disini yang akan selalu mendukungnya dan berdiri di pihaknya.

Itu tangis terakhirnya, setelah itu ia menjadi wanita berhati lembut, santun namun tegas dan tak menerima pennindasan sedikitpun. Dia akan keras menolak setiap penindasan atau kekerasan dalam bentuk apapun.Lalu aku teringat bagaimana dulu ia berlari penuh khawatir terlambat masuk kelas padahal masih setengah jam sampai hari pertama di mulai.

Aku juga teringat bagaimana ia berjuang mengikuti rangkaian seleksi beasiswa penuh masuk sekolahnya hari ini. Dia berjuang melawan kantuk , melawan ketakutannya, melawan mabuk kendaraan karena perjalanan jauh selama seleksi dan berjuang melawan rasa rindunya. Usianya masih 11 tahun, tapi dia berjuang sangat keras untuk mimpinya.

Hatinya sama terluka dengan rasa rindu, tapi dia menghalaunya dengan tilawah dan belajar sungguh-sungguh. “ummi, jangan menangis, jangan bersedih! Jika tidak hari ini di dunia, kelak pasti kita akan berjumpa dan berkumpul kembali di sebuah rumah yang sangat indah di Syurga Allah.” Dia memiliki harapan dan keyakinan yang sangat kuat. Usianya masihlah 11 tahun tapi dia berpikir jauh ke depan.Ingatan itu mencambukku, usiaku sudah kepala 3, “ibu, apa yang membuatmu selemah ini?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Naskah Muhasabah Wisuda Tahfidz