Memang bukan tanpa alasan jika kukatakan rindu tiba-tiba
berkecamuk menggelayut manja, bisiknya menyesakkan hingga detak jarum jam
terasa melambat setiap harinya. 1,5 tahun yang lalu sejak dia kami antarkan
menuju ke tempatnya mencari ilmu di sebuah pesantren di kota lain yang berjarak
seharian penuh perjalanan dengan bis. Berbilang waktu kami menghitung setiap
detiknya menanti saat perjumpaan, memeluk dan merekam semua jejaknya dalam
ingatan menjadi hal yang paling di harapkan.
1,5 tahun bukan waktu yang singkat, terlebih saat
melintas banyak kenangan yang melahirkan sesal. Tentang 12 tahun pertama saat
ia dalam buaian yang terasa kurang dan penuh kekurangan. Ah, kenangan bagai
slide film melintas cepat tanpa menungguku berbenah, bukan hanya kenangan tapi
juga waktu yang pernah dilalui. Sangat cepat ia bergerak, sedang aku tak
menyiapkan diri untuk bergegas menghampiri hari esok. Aku tak menyiapkan diri
akan saat perpisahan yang pasti adanya, baik berpisah karena pendidikan,
pekerjaan atau hal lainnya termasuk kematian. Aku meyakini akan adanya
perpisahan tapi tak menyiapkan diri untuk perjumpaan dengan saat-saat itu.
Setiap hari aku menghitung detik, dentingnya terasa
menyayat, “kapankah waktunya ia dapat kembali kami peluk?” bisik kerinduan
menggeerogot setiap denyut nadi, isak menjadi teman setia setiap kali bisik
rindu menyapa erat.
“Allohummarhamna, yaa Allah bantu dan kuatkan. Bimbing
hati untuk mengikhlaskan! Bimbing hati untuk berlapang dan Ridha dengan
sebenar-benar Ridha!” setiap waktu bertemankan doa untuk hati yang sering lemah
dan rapuh, duhai cinta luar biasa ia terbawa arus rasa. Setiap hari juga
berkawankan doa untuk ia dan mereka yang juga mengais rindu yang sama.
Hai berganti, banyak hal yang berubah. Melihat
teman-temannya yang bertambah tinggi, membawa ingatanku pada gadis kecil kami,
“ia juga sudah bertambah tinggi.”Aku memeluk teman-temannya setiap kali
berjumpa mereka, menjeda kerinduan dengan memeluk mereka yang 6 tahun pertama
menjadi kawan perjalanan pencariannya akan ilmu. Tangisku tak terjeda, aku
tetap berkawankan rasa rindu dan sesal.
Melihat bangunan sekolah MI nya membawaku pada ingatan ia
yang 6 tahun sebelum beranjak ke tempat barunya, membayangkan seperti apa
kira-kira ia melewati waktunya bersama guru-guru dan teman-temannya di MI
selama 6 tahun itu. Terbayang bagaimana ia dulu pulang ke rumah dengan isak
yang membuncah di pelukan dengan berbaris kata, “ummi, ada yang memukulku.” Atau,
“ummi ada yang bicara buruk.”
Dia yang hari-harinya penuh kasih dan hanya mendapat
kalimat baik tak kuasa menghadapi kalimat buruk dan ... aku ingin sekali
bergegas melindunginya dari sesuatu yang menyakitinya. Tapi alih-alih berlari
mencari dia yang membuat putri kami menangis, aku malah memeluk dia erat dan
memberi dia kekuatan untuk menghadapinya sendiri dengan aku disini yang akan
selalu mendukungnya dan berdiri di pihaknya.
Itu tangis terakhirnya, setelah itu ia menjadi wanita
berhati lembut, santun namun tegas dan tak menerima pennindasan sedikitpun. Dia
akan keras menolak setiap penindasan atau kekerasan dalam bentuk apapun.Lalu
aku teringat bagaimana dulu ia berlari penuh khawatir terlambat masuk kelas
padahal masih setengah jam sampai hari pertama di mulai.
Aku juga teringat bagaimana ia berjuang mengikuti
rangkaian seleksi beasiswa penuh masuk sekolahnya hari ini. Dia berjuang
melawan kantuk , melawan ketakutannya, melawan mabuk kendaraan karena
perjalanan jauh selama seleksi dan berjuang melawan rasa rindunya. Usianya
masih 11 tahun, tapi dia berjuang sangat keras untuk mimpinya.
Hatinya sama terluka dengan rasa rindu, tapi dia menghalaunya dengan tilawah dan belajar sungguh-sungguh. “ummi, jangan menangis, jangan bersedih! Jika tidak hari ini di dunia, kelak pasti kita akan berjumpa dan berkumpul kembali di sebuah rumah yang sangat indah di Syurga Allah.” Dia memiliki harapan dan keyakinan yang sangat kuat. Usianya masihlah 11 tahun tapi dia berpikir jauh ke depan.Ingatan itu mencambukku, usiaku sudah kepala 3, “ibu, apa yang membuatmu selemah ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar