Semasa kecil saya melihat Ibunda, setiap kali Ayah kami pulang, Ayah akan bertanya tentang kami putra-putrinya. Ayah menyimak setiap detail peristiwa yang Mamah ceritakan, bukan hanya 1 anak tapi semua putra-putrinya beliau ceritakan.
Ayahanda sesekali terlihat memberi feedback atau sekedar mengucap "deudeuh mamah pasti cape." Dan saya melihat wajah letih mamah seketika berubah cerah, sedahsyat itu arti kalimat yang baik. Sedahsyat itu arti di dengarkan.
MasyaAllah luar biasa sekali arti empati.
Kadang terpikir oleh saya, "seorang ibu adalah penulis terbaik." Kenapa? Ia sanggup menjadi peneliti yang baik bagi anak-anaknya untuk kemudian dia ceritakan kembali, detail tanpa rekayasa. Hmm kadang ada juga beberapa bagian yang di dramatisir, hee.. Tapi itulah ibu, cintanya adalah fitrahnya. Saat ia mampu berkisah sepanjang dan seruntut itu, ia juga pasti bisa menuliskannya. Kuncinya nanti hanya, "Nulis aja dulu."
Seperti ibunda yang hari itu berkisah selama 5 hari tanpa Ayahanda; tentang bagaimana hari-hari beliau sepanjang Ayahanda tidak di rumah. Tentang kami dan semua yang berkaitan dengan kami.
Bagi saya itu hal paling unik yang saya lihat dari Ibunda, beliau seolah sudah menyimpan chip khusus untuk menyimpan jejak-jejak kami untuk nanti diceritakan pada Ayahanda saat Ayahanda pulang dan keesokan harinya bertanya, "Mamah bade cerita naon ka Apa? Kumaha barudak salami Apa di Bandung?"
Kenangan itu, sangat membekas.
Jejak itu... disana ada bahasa cinta yang unik. Bahasa cinta Ayahanda bagi Ibunda dan sebaliknya, juga bahasa cinta orang tua kami bagi kami.
Di kemudian hari saya berjumpa Ayah muda yang setiap kali pulang mengajar akan bertanya, "apa kabar istriku sepanjang hari ini? Bagaimana kabar anak-anak? Ada yang ingin ummi ceritakan? Abi siap mendengarkan." Itu bukan hanya sekedar kalimat gombalan yang bahkan meski gombalan sekalipun tlah Allah siapkan kebaikan didalamnya InsyaAllah. Beliau benar-benar menyimaknya, mengambil alih semua rasa yang sempat berkecamuk dan menyimpannya untuk dia tanggung di pundaknya. Seperti yang pernah beliau ikrarkan, "ini tugas Abi, simpanlah beban itu buat Abi dan jadilah ibu yang bahagia.".
Ibu yang bahagia..
MasyaAllah.
Lalu saya teringat ucapan Ayahanda dulu, dini hari di bulan Agustus tahun 1998, beberapa hari sebelum beliau berpulang sambil mengetik di mesin tik tua di dekat jendela taman beliau mengucapkan kalimat ini pada saya yang sedang membacakan catatan beliau, "De, Tulislah! Menulislah! " Hari itu saya hanya terbiasa menuliskan apa yang Ayahanda minta untuk di tulis. Tapi di kemudian hari, saya teringat kalimat lainnya yang pernah Ayahanda ucapkan di waktu yang sama, "menulislah untuk peradaban!"
Dan..
Saya memilih menuliskan semua yang menurut saya baik untuk di tulis. Saya tetap menceritakan semua kejadian by lisan pada suami saat beliau bertanya, "apa kabar istriku sepanjang hari ini? Bagaimana kabar anak-anak? Ada yang ingin ummi ceritakan? Abi siap mendengarkan."
Tapi, karena kata-kata yang diucapkan hanya akan menguap dan berlalu disana, maka saya juga memilih menuliskannya. Hingga suatu saat meski saya tlah tiada, anak cucu saya, generasi saya bisa tetap menapaki jejak melalui tulisan saya. Tulisan akan tetap hidup bersama mereka yang masih hidup..
Saya tidak tahu bagaimana nilainya dihadapan Allah.
Saya bahkan enggan berpikir bagaimana orang menilainya.
Yang saya yakini hanya, saya sedang dan harus berusaha menjejak amal kebaikan. Semoga jejak ini menjadi jejak-jejak kebaikan yang saripati hikmahnya bisa diserap dan menyebar hingga Allah berkahi dengan kebaikan bahkan saat saya sudah tidak bisa menjejak amal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar