Uang muka sebesar 15 juta rupiah sudah kami siapkan, hasil menabung selama sekian tahun. Survey tempat, bertanya sana sini hingga diputuskan membeli satu unit rumah tipe 36 di daerah rancaekek Bandung. Perumahan itu termasuk satu dari sekian banyak perumahan yang baru di bangun, daerahnya terletak di kawasan yang jarang terkena banjir. Rancaekek di kenal sebagai kawasan yang rawan banjir, dan di sana terhitung aman dari banjir. Well, itu hanya prediksi yaa karena ternyata beberapa tahun kemudian kami dapati tempat itu termasuk satu dari sekian tempat yang juga terdampak banjir.
Hingga suatu hari saya bermimpi, mimpi yang sangat aneh dan membuat saya merenungkan kembali niat mencicil rumah. Saya tidak akan menceritakan detail mimpinya karena tidak diperkenankan untuk berbagi mimpi, namun yang pasti setelah mimpi itu saya memilih mengurungkan niat mencicil rumah dan memilih membeli bahan bangunan di kampung halaman.
Saya? yups, suami memberi saya kesempatan penuh untuk memilih. Beliau memberi saya kesempatan untuk menentukan dimana saya hendak tinggal karena menurut beliau yang paling akan merasai suka duka atau nyaman dan tidaknya rumah itu adalah saya jadi beliau memberi mandat penuh untuk saya.
Saya sampaikan niat saya untuk meninjau kembali rencana membeli rumah dengan cara mengangsur dan melihat peluang membangun rumah di kampung halaman, beliau menyambut niat saya dengan suka cita. Sebenarnya apapun pilihan saya dia akan tetap berekspresi seperti itu sih, tapi tetap saja saya suka melihat ekspresinya.
Akhirnya kami sepakat mengalihkan uang untuk DP menjadi uang untuk membeli bahan bangunan.
Diskusi kami belum selesai, keputusan belum final, ada hal lain yang belum di bahas dan saya tidak bisa memutuskan itu sendirian. meski keputusan terkait rumah ada di tangan tetapi saya pikir suami juga berhak memilih dimana dia akan tinggal, di mana rumah itu akan di bangun, di kampung halaman suami atau di kampung halaman saya.
Saya tanyakan pendapat beliau namun hari itu beliau malah terdiam cukup lama. Saya tidak tahu apa yang membuat beliau terdiam dan terlihat bingung. Saya ingin menanyakan alasannya tapi entah kenapa hari itu saya memilih diam dan meninggalkan beliau sendiri, saya melihat ada yang mengusik beliau dan itu bukan karena pertanyaan saya.
Lama kami tidak membahas tentang rumah, uang yang sedianya untuk DP atau membeli bahanpun sedikit demi sedikit mulai terpakai dan terkuras habis di pakai bayar kontrakan, uang sekolah sulung, biaya ke rumah sakit dan kebutuhan sehari-hari. Saya agak putus asa dan berpikir mungkin saja nasib kami berakhir dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lain. Harapan memiliki rumah sendiri pun seolah menguap, saya mulai memeluk tangis harapan sendirian. Sejak melihat suami terdiam, saya tidak lagi berani bertanya sedikitpun tentang rumah karena khawatir menyakitinya. Saya memilih menangis sendirian dan di kemudian hari saya akhirnya tahu bahwa suami juga menyimpan kesedihannya sendiri dan tidak mau melibatkan saya dalam duka nya, alasan beliau terdiam.
Segitunya luka pengen punya rumah ya? iya, boleh di cek ke semua orang yang sedang memiliki impian membangun rumah, rasanya kurang lebih pasti sama.
bersambung
hmm, sya menunggu cerita selanjutnya
BalasHapusMasyaAllah, InsyaAllah teh
Hapus