Saya pernah dan sering. Tapi seperti tekad kami sebelumnya, bahwa kami akan menerima yang kecil yang ada pada mereka, bersyukur karenanya dan menjadikan hal-hal lainnya sebagai PR yang tak perlu kami keluhkan.
PR berarti semua itu harus di cari solusi, dan solusi tidak bisa di dapatkan dengan hanya berdiam diri, mengeluh apalagi bersusah hati tak mengenal kata do atau action.
Solusi juga tidak bisa di dapatkan jika kita lebih memilih fikiran negatif memenuhi fikiran kita, tentang kita ataupun anak-anak kita... Misal, "ya udah mau gimana lagi, da diamah memang segitu adanya."
Itu contoh fikiran negatif? Hee..bagi saya mah itu kalimat negatif. Seperti kalimat orang yang sedang berputus asa atau semisalnya... Dan fikiran seperti itu jika masuk ke alam bawah sadar, berpotensi menjadikan diri kita dan anak-anak kita segitu-gitunya, tanpa peningkatan kualitas iman, tanpa peningkatan kualitas ilmu, juga tanpa peningkatan kualitas amal.
Label bodoh, label nakal, label-label negatif lainnya menjadi permasalahan seterusnya yang seringkali terucap dari orang tua sendiri.
Hmmm, agak ngeri juga yaa jika label negatif justru datang dari orang tua, kemudian masuk ke dalam jiwa anak sebagai do'a yang terkabul melalui banyak sebab terkabulnya do'a. Na'udzubillahi min dzaalik...
Solusi... Saya ingin berbagi sedikit pengalaman kecil saya dalam mencari solusi menuntaskan PR yang tak bisa kami abaikan dalam pembinaan generasi yang Allah amanahkan dan harus kami jaga sebaik-baiknya, bukan hanya fisiknya saja yang harus kami jaga, tapi juga fikrohnya, akhlaq nya dan terutama aqidahnya.
"Nak, ngobrol yuk!" atau, "Nak, boleh ummi bicara?" saya tidak tahu kata tanya atau kata ajakan yang paling tepat untuk mengajak remaja laki-laki ngobrol. Dan cara ini salah satu usaha saya untuk menyentuh sisi hatinya.
Menyentuh dari segi apa?
Ketika suami mengajak saya ngobrol dengan kalimat seperti itu, "mi, ngobrol yuk!"
Atau saat seorang teman berkata, "de, ngobrol yuk!"
Ada satu sudut di hati ini yang berdesir hangat yang belum saya ketahui nama dan alasannya. Yang pasti desiran itu membawa saya pada kata 'senang' yang tak terjabarkan dalam kata baik saat mendengar kalimat itu, memulai obrolan, saat mengobrol bahkan setelah selesai mengobrol.
Dan itulah kenapa saya menggunakan kalimat yang sama dengan harapan dia merasakan hal yang sama dengan yang saya rasakan, kemudian tidak merasa terintimidasi dengan apa yang nanti saya sampaikan.
"Tahu nggak, Nak...kami meminta pada Allah untuk membimbing kami mendidik anak-anak kami seperti ini dan seperti itu (saya sampaikan semua do'a terbaik), kami meminta pada Allah agar putra-putri kami seperti ini dan seperti itu (saya sampaikan harapan terbaik tentang mereka), kemudian kami berusaha semaksimal yang kami bisa agar kalian menjadi khoiru ummat dengan apapun yang kami bisa, lalu Allah menganugerahkan kami putra-putri yang sesuai harapan kami."
Sampai ini, fokusnya tetap terjaga.. Dan dia sepertinya mulai faham maksud ucapan saya.
"Astaghfirullohal 'adzim... Hari ini kami seperti ini dan seperti itu (bangun terlambat, marah-marah atau hal-hal lain yang semisal). Maaf ya mi!!"
"Allah sedang menguji ummi, sayang. Ummi faham kenapa terlambat bangun shubuh, ummi faham kenapa marah-marah, ummi juga pernah mengalami hal itu... InsyaAllah ummi siap menunggumu kembali bangun di awal waktu, kembali tenang tanpa harus meluapkan amarah. Aa/adik/teteh tahu kan, kalian bisa cerita apa saja sama ummi. Kalau dalam hati kalian terasa sedang ada ganjalan kurang enak, sedih atau butuh ngobrol, kalian bisa cerita sama ummi.!"
Persoalannya mungkin kecil, tapi jika tidak ditangani akan berpotensi menjadi sesuatu yang tidak baik untuk mereka.
Paranoid? Saya kurang faham paranoidteh apa, tapi jika itu di artikan sebagai ketakutan berlebihan, saya katakan itu bukanlah paranoid. Karena itu adalah pendidikan, pendidikan yang kami yakini.
Kenapa saya harus mengatakan saya memahami apa yang sedang mereka alami? Ini bukan sekedar omongan tanpa fakta, karena saya insyaAllah memahami dan berusaha memahami perasaan mereka.
Saya merasa senang ketika ada yang bisa memahami perasaan saya, dan saya meyakini anak-anak pun seperti itu.
Tulak ukurnya kok perasaan saya? Hee.. Namanya juga eksplorasi cara. Dan sejauh ini cara ini cukup efektif untuk mereka... Untuk anak-anak yang Allah amanahkan pada kami.
Mungkin cara saya tak efektif untuk yang lain, karena setiap orang tua memiliki cara yang berbeda untuk mendidik anak-anaknya, dan setiap anak memiliki passion yang berbeda dalam pendidikannya.
Ini ikhtiar kami, kami berharap yang terbaik untuk hasilnya di kemudian hari. Dan untuk hari-hari ini, biasanya setelah itu tekad kembali terucap dari lisan mereka (insyaAllah di iringi hati), "ummi, ingatkan kami saat melakukan kesalahan, bantu kami meluruskannya! Kami ingin menjadi hamba Allah yang lurus."
Jalan didepan mereka lebih banyak dipenuhi duri tajam dan ada banyak keletihan menanti. Syirik, dzolim, dan berbagai kesesatan melambaikan tangan mengajak jiwa-jiwa yang harusnya tetap sesuai fithrohnya saat menghadap Allah kelak itu, jangan sampai kita terlambat!! Jangan sampai kita kebobolan ... Mari Didik mereka, mari bimbing mereka, mari peluk mereka, mari meminta bimbinganNya!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar