"Kalau ummi yang bicara seperti itu sama teteh, bagaimana perasaan teteh? Bagaimana pendapat teteh?" dia menyimpan sendoknya yang berisi sayur bayam kembali ke piringnya. Bola matanya agak berputar, seperti biasanya kalau dia sedang berpikir.
"Teteh tidak mau ummi mengatakan seperti yang dikatakan ibu-ibu itu. Teteh lebih suka yang seperti sekarang, saat ummi hanya bertanya apa yang teteh pikirkan, apa yang teteh rasakan, bagaimana pendapat teteh. Teteh tidak mau ummi meminta teteh belajar untuk dapat ranking bagus, tapi teteh senang ketika ummi mengajari teteh dan kita bisa belajar bersama dengan sungguh-sungguh." dia memelukku, ah sepertinya dia mulai khawatir..
"Sayang, teteh Aufa sayang. Ummi itu ummi teteh, ummi tidak perlu seperti ibu-ibu yang lain untuk menjadi ummi teteh, kan?" dia mengangguk
"Dan anakku sayang, maukah teteh jika teteh melakukan sesuatu lalu orang-orang sibuk membicarakan teteh karena sikap teteh itu, nak?"
"Tidak, teteh tidak mau."
"Begitupun mereka, nak. Mereka juga tidak suka jika kita membahas tentang mereka dibelakang mereka.
Putriku sayang, putri ummi nu sholihah, ada saatnya kita harus menutup lisan kita rapat-rapat atas sesuatu, ada juga saat kita boleh berbicara. Mari jaga prasangka baik kita, nak!"
"Husnudzon, mi?"
"Iya Nak. Husnudzon."
Catatan ini di tulis di Balananjeur, 18 Juli 2017 waktu Aufa berusia 9 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar