"Anak Bapak itu ada 2, Neng. Dua-duanya laki-laki, sudah menikah dan bekerja di bidang kesehatan." Bapak itu memulai ceritanya, saya tidak akan mengatakan dengan mata menerawang karena beliau bercerita dengan penuh semangat.
Semangat yang membuat kita tidak akan mengira bahwa kondisi jantung beliau tidak sedang baik-baik saja.
Beliau lalu berkisah tentang proses perjalanan beliau mulai dari nol sampai hari ini, "semua orang mengalami hal yang sama di awal masa berumah tangga, neng. Semua pernah susah, pernah berpikir dan berusaha keras agar memiliki rumah sendiri, hidup mandiri dan pastinya ingin berkecukupan."
Perjuangan melalui episode itupun beliau sampaikan tanpa kesan seolah hari itu sulit, semangat dan jiwa positif yang justru kami lihat dari cara beliau berkisah
"Anak pertama kami MasyaAllah shalih pisan. Bapak tidak ingin membandingkan tapi agar menjadi ibrah bagi anak muda yang sedang mendidik anak, bapak katakan bahwa keduanya sangat berbeda. Yang pertama shalihnya luar biasa, baik pada kami, orang tuanya. Pada keluarga istrinya, istrinya, rekan sejawatnya juga pada adiknya. Kami tidak memiliki sedikitpun keluhan atas dia, subhanallah bageur pisan, Neng." Bapak mengalihkan topik pembicaraan saat mengetahui saya sedang menjadi ibu bagi beberapa remaja
"Apapun yang diminta harus selalu dituruti, tidak boleh tidak. Ini gambaran nomor 2,Neng. Dia juga anak yang shalih, tapi karena kesalahan Bapak dia menjadi seperti itu. Ceuk urang sunda mah kudu pok torolong! Kurang bisa menahan diri untuk bersabar dan menahan emosi saat menginginkan sesuatu."
"Tapi itu salah Bapak saat mendidik dia, Neng. Waktu dia kecil (nomor 2) Bapak selalu khawatir dan cenderung melindungi dia dengan berlebihan. Setiap kali dia akan melakukan sesuatu selalu bapak larang karena khawatir dia terluka, terjatuh dan semacamnya. Semua yang dia inginkan selalu Bapak turuti, yang penting dia senang dan aman. Saat itu Bapak berpikir hanya itu satu-satunya cara melindungi dia. Beda sekali dengan anak pertama yang dididik mandiri dan mengendalikan diri dari apapun yang dia maui seperti mainan atau yang lainnya."
Sewaktu beliau bilang, "saat dia kecil." Auto pengen nangis da, sebabnya saya terhitung tidak mudah mengikuti kemauan anak. Bukan tidak ingin tapi waktu itumah tidak ada uangnya. Misal pas sulung kecil nangis pengen beli es campur di dekat Astor Ujung berung, saat Umar kecil nangis pengen beli kekeretaan, saat aufa kecil nangis pengen beli tempat tidur boneka atau saat olin kecil nangis pengen beli baju boneka (still remember all yang pernah bikin mereka nangis).
Meski pas ada uang pun saya tidak pernah serta merta bilang, "ok, ummi akan belikan itu buat kalian."
Nggak lucu kaan kalau beli mainan (semurah apapun) sampai mengorbankan kebutuhan makan mereka.
Dan disinilah saya menangis waktu dengar Bapak bilang, "waktu dia kecil bapak selalu menuruti apapun kemauan dia hingga akhirnya bapak memetik hasil yang telah bapak taburkan itu, sampai hari ini apapun yang dia inginkan harus selalu dituruti."
"Bapak tidak boleh mengeluh, yang harus bapak lakukan adalah bersabar. Allah seperti sedang memperlihatkan, kalau kamu mendidik anak dengan cara seperti ini, inilah hasilnya. Dua anak dididik dengan cara yang berbeda tapi bukan karena beda karakter tapi karena Bapaknya sendiri yang kalah oleh kekhawatiran, Allah pun menunjukkan Bapak dengan hasilnya. Jadi Neng, mendidik anak itu harus disertai keyakinan pada anak, bahwa dia bisa melakukannya sendiri. Jangan apa-apa dibantu tapi biarkan dia menyelesaikannya sendiri!"
Mendidik anak juga harus dibikin happy, tidak boleh rudetan, tidak boleh pusingan. Tidak boleh sedikit-sedikit kesel, jengkel, nggak sabaran dan semacamnya.
Nikmati saja prosesnya, anggap sedang mengerjakan hobi. Hobi mendidik dan mendampingi anak itu berpahala, Allah yang janjikan itu. Jangan pernah khawatir hasil, kalau usahanya sudah benar mah ya sudah biar Allah yang menilai hasil akhirnya harus seperti apa.
Intervensi dari orang sekitar juga jangan jadi alasan kita buat bilang, "pusing pisan dikomentari wae!" Santey saja! Nikmati saja! Ubah mindset pusing menjadi kalimat, "MasyaAllah, banyak yang perhatian."
Beda kalimat beda rasa, bener lho.
And then intervensi itu bisa kita pertimbangkan untuk diikuti atau diabaikan, itu tergantung kita. Yg pasti jangan jadi bahan epesmeer. Kuatlah dan tegarlah!
Eh tiba-tiba jadi diingatkan kembali saat anak-anak nangis minta sesuatu, MasyaAllah hari itu berlalu. Saat anak-anak mengatakan, "hatur nuhun." Atas kebersamaan di masa kecil, kadang pengen deh kembali ke masa itu lalu bilang ke mereka saat mereka minta sesuatu, "Nak, dimasa depan, ummi akan menangis mengingat ini. Bukan nangis sedih tapi nangis rindu. Terima kasih sudah hadir dan menjadi anak-anak Ummi. Terima kasih sudah membuat kenangan seperti ini dan bersabar atas kami"
MasyaAllah.. Finally, saya tidak lagi menyesal..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar