Senin, 30 Agustus 2021

Ghibah? Biarin Aja

Dulu mah kalau ada yang ngghibahin apalagi sampai mitnah lalu kedengeran teh auto nangis di pojokan, rasanya nyelekit alias sakit banget. 
Nangis berhari-hari, ngerasa, "duh ni teungteuingeun pisan geuningan." Dan segala kalimat ekspresi kecewa muncul di kepala. 

Nggak mau makan, nggak haus, nggak ada semangat hidup tapi nggak sampai terpikir mengakhiri hidup juga sih, na'udzubillahi min dzalik kalau itu mah da fikiranmah insyaAllah tetap waras hanya butuh waktu untuk mengobati luka. 

Luka? Ya, waktu itu mah merasa kalau hal seperti itu teh melukai sampai nggak mau ketemu yang pernah ngghibahin. Marah menguasai rasa meski tahu dengan pasti nggak ada asap kalau nggak ada api, maksudnya dia ngghibahin saya mungkin karena suatu hal yang tidak menyenangkan dalam diri saya atau boleh jadi saya punya salah sama dia dan dia melampiaskan kekesalannya dengan cara ngghibah. 

Ah pikiran macam itu sempat terlintas sampai akhirnya mulai menyadari terluka karena ghibah itu tidak berfaedah dan mengambil opsi berpikir something wrong with me yang membuat dia pantas ngghibahin juga bukan opsi yang benar. 

Terus, gimana dong? 

Suatu hari ibunda saya menangis dengan tangis yang cukup keras mendapati putrinya di ghibah, saking sayangnya seorang ibu pada anaknya bahkan meski anaknya sudah dewasa sekalipun tangisnya tak kunjung reda karena luka mendapati putri yang dia lindungi dengan airmata dighibahin orang lain. 

Lukanya yang dalam membuat beliau pingsan dan berucap, "mamah khawatir Nde mendapat dosa yang sama karena membuat orang mengghibahkan Nde. Mamah juga nggak rela Nde di ghibah apalagi di fitnah seperti itu." 

MasyaAllah cinta Ibu.. 

Sungguh, sebelumnya saya tidak menangis. Saya sudah jauh lebih menerima kalau-kalau ada yang ngghibahin atau mitnah, pokoknya sudah mulai santuy weh. Lha wong bukan salah kita saat kita di ghibah, pengghibah akan tetap berghibah meski nggak ada yang perlu dighibahin. Selalu ada alasan berghibah dan cara berghibah bagi yang suka berghibah. 

Namun hari itu saya menangis, melihat mamah menangia terluka bahkan sampai tidak sadarkan diri membuat hatiku tersayat. Duhai cinta Ibu.. 
Sungguh tidak kuasa melihat Mamah terluka sedemikian rupa. 

Someday saya ceritakan ghibah macam apa itu yang membuat ibunda menangis begitu keras, insyaAllah buat jejak ibrah dan healing juga sih (saya sedang mengorek luka untuk kemudian berusaha menyembuhkannya). 

Saya katakan pada Mamah bahwa saya baik-baik saja, tidak terluka karena hal seperti itu dan dosa orang yang mengghibah tidak akan sampai pada yang di ghibah. Justru sebaliknya, yang di ghibah mendapatkan transferan pahala dari yang mengghibah. See, siapa yang untung dan yang rugi? Say memang tidak terluka, tapi melihat mamah terluka hati kecil saya mulai menyimpan luka namun saya tidak mau mamah tahu. Untuk luka saya sendiri, saya akan berusaha menyembuhkannya InsyaAllah. Namun mamah tidak boleh terluka karena saya atau atas nama saya karena itu jauh lebih menyakitkan. 

Hari ini, meskipun seharian tinggal di rumah dan mempersempit interaksi dengan orang lain namun tetap saja ada kalimat yang sampai, "teh de, ada yang bilang teh dede begini atau begitu. Saya ngrasa itu bukan teh dede jadi memutuskan untuk tabayyun."

Kalau ada yang tabayyun hal seperti ini teh saya suka merasa serba salah, kalau saya menyangkal akan ada yang langsung menduka, "berarti orang yang membawa kabar teh berbohong." Nah saya kan nggak mau sampai orang berpikir si A atau si B berbohong ataupun membuat orang memandang buruk orang yang ngghibahin saya. 

Rumit ari kitu mah nya? But no, saya punya senjata andalan, "mintalah fatwa dari hatimu. Saya tidak berminat mengatakan saya tidak seperti yang disangkakan dan tidak juga berminat membenarkan. Jika engkau ikut mendengar maka tanyakan itu pada yang membicarakan, bukan sama saya. Saya tidak berminat membahas hal yang ingin ditanyakan itu." Well, ini memang senjata andalan saya. 

Atuh da buat apa ngebahas hal nu kitu, mendingan fokus do the best what we can to do. Biarin we mau di anggap ghibah yang didengarteh benar atau salah da kasihan juga atuh bikin orang sibuk memikirkan kita teh.. 

"Jangan ngbahas hal seperti itu, jangan mendengar hal seperti itu, hindari majelis yang membuatmu harus mendengar hal seperti itu!" Ini kalimat andalan saya juga 😁 ini sebenarnya sudah saya praktekan, saya hanya akan mengatakan sesuatu yang saya lakukan. 

Kalau lagi ngumpul tetiba nyerempet ngobrolin seseorang, kalau saya nggak bisa mengingatkan mah (ngrasa nggak enak misal) langsung kabur we ninggalin perkumpulan itu. Sering juga sih susah menghindar 🤭 Tapi diusahakan nggak ikut terpancing tema, berusaha membelokkan arah obrolan atau ngingetin, "eh tahu nggak, yang diomongin dapat transfer pahalanya. Nah kita? Bangkrutlah kita karena amal kita pada hilang semua. Kita nanti punya apa buat pulang ke akhirat?" 

Eh itu dulu ya, soalnya sekarang mah jarang banget kumpul-kumpul kecuali sama anak-anak. Bebas dari ghibah kalau sama anak-anak mah, biasanya paling ngobrolin aplikasi atau berita kekinian terkait minat bakat mereka masing-masing atau kadang saya yang bernostalgia ngobrolin masa-masa kecil mereka. 

Oh ya kembali tentang ghibah, sekarang mah sudah semakin santey menghadapai ghibah atau fitnah teh. Nggak nangis kayak dulu atau terpengaruh kayak dulu, itu urusan yang mengggibah bukan urusan saya. Yang perlu saya lakukan adalah bercermin dari ghibah itu 🤭 Eh tetap terpengaruh ya 😄

Bercermin? How can? Langsung muhasabah diri, kalau benar apa yang mereka katakan jangan berdiam diri tapi langsung memperbaiki diri. Kalau itu fitnahmah abaikan saja, kita nggak dapat madharat apapun dikarenakan lisan orang itu kecuali kalau hati kita terpengaruh. 

Enak banget yang di ghibah atau di fitnah mah, dapat transferan pahala masyaAllah. 

Balananjeur, Selasa 31 Agustus 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh