Saya pernah melalui episode itu di awal pernikahan, seminggu setelah menikah langsung dibawa tinggal di rumah mertua.
Hari pertama lumayan mendebarkan, si 18 tahun yang bahkan tidak tahu cara masak nasi harus mulai membiasakan diri dengan tungku kayu atau kompor. Lho kok? Iya,soalnya di kampungmah kan masaknya pakai tungku kayu dan kompor minyak.
Emak sendiri tidak membebani buat bantu masak atau apalah, tapi nasihat Mamah untuk tidak membiarkan ibu mertua mengerjakan pekerjaan rumah seolah menjadi penggerak tersendiri, "aku harus bisa.", " Aku nggak bisa diam begitu saja."
Hari itu belum kenal namanya media sosial seperti sekarang apalagi youtube buat nyari tutorial masak atau menyalakan tungku. Belum ada Umar yang bisa saya mintai tolong buat nyalain tungku, dan mamah tinggal di kampung yang berbeda. Mau nanya Emak juga malu takut ketahuan nggak bisa masak 😅
Hari itu mulai deh nyesel kenapa selama ini nggak pernah bantu mamah, hanya tahu cara nulis sama baca. Kenapa nggak pernah bantu mamah masak atau pekerjaan rumah lain? Bukannya mamah nggak pernah ngajarin, tapi saya yang sakit-sakitan menjadi alasan tersendiri Kenapa lebih banyak menepi dengan buku dan mesin tik. Oh ok, waktu itu memang zamannya mesin tik. Belum tahu kalau nanti bakal ketemu laptop atau ponsel, sekedar tahu kalau di masa depan akan ada yang namanya memori sebesar ujung jari, tidak lagi sebesar CD.
Pernah waktu kelas 4 SD berdebat sama temen-temen gara-gara bilang, "di masa depan, banyak hal bisa di simpan di kartu segede ini." Sambil nunjukin ujung jari. Temen-temen pada ngetawain bilangnya saya menghayal dan semacamnya. Padahal saya hanya keracunan buku bacaan, di majalah kan ada memori sebesar telapak tangan terus otak kecil saya mikir, "sangat mungkin kalau di masa depan mah bakal lebih kecil lagi dari ini."
Oh wait, saya mulai tidak fokus. Kembali ke HAWU. So, seminggu setelah menikah saya pun mulai berkenalan dengan niup tungku kayu. Berat? Enggak, senang aja soalnya kebayang seisi rumah menikmati makanan yang dibuat tangan sendiri teh MasyaAllah rasanya luar biasa, itu hal baru buat saya.
Emak dan Bapak (mertua) sangat baik, menerima saya Dengan penuh suka cita. Merangkul saya dengan lapang, menyediakan kamar yang sebenarnya sudah bukan hak kami untuk bergantung pada orang tua. Dan bahkan berbagi makanan dengan kami..
Bagaimana rasanya tinggal bersama mertua? Seharusnya bukan itu yang ditanyakan, saya justru bertanya sebaliknya, "apa yang dirasakan mertua saya saat kami harus tinggal menumpang di rumahnya?"
Menumpang? Terkesan kasar ya? Itu cara saya mengingatkan diri saya sendiri dan memang kami itu cuma numpang. Gratis pula.. Nggak tahu bayar listrik, bahkan biaya hidup sehari-hari di bantu mertua. MasyaAllah sungguh sangat nggak tahu diri banget kalau saya justru menjawab dengan jawaban seperti apapun pertanyaan, "bagaimana rasanya tinggal dengan mertua?"
MasyaAllah bersama mereka adalah anugerah, tarbiyah, salah satu yang membentuk saya untuk.... Hmm salah satunya bisa masak di hawu 😁
Tidak ada komentar:
Posting Komentar