Senin, 08 November 2021

Air Mata yang Tersisa

Ada satu kisah yang membuat netra saya berlinang setiap kali kilasannya terpampang di pelupuk mata, bukan linang rindu tapi linangan duka.

Saya ingin menceritakannya untuk mengakui sekaligus menyembuhkannya.

Waktu itu kami diberikan kesempatan rihlah ke suatu tempat, katanya penginapannya sudah disiapkan. Sesampainya di sana kami tidur bertumpuk dengan tangis beberapa balita yang ikut bersama kami, di dapur suatu rumah diantara deras dan..saya tidak berduka dengan semua itu tapi dengan sorot yang menatap sinis. Ah saya tidak senang mengakuinya karena saat itu saya tidak berpikir itu akan menjadi sorot yang membuat saya merasa tidak nyaman sampai di hari selanjutnya saya mengetahui fakta bahwa kami tidak diharapkan berada di sana oleh mereka. Mereka, siapa? Mereka yang ternyata usai mengunyah dagingku yang kerontang...

Saya tidak senang mengakui ini namun akhirnya saya mengatakannya untuk mengobatinya, ada satu kalimat disertai sorot mata yang ingin kulupakan tapi hari itu menjadi luka tersendiri bagiku.

"Saya tidak sedang dalam kondisi mencari tumpangan, bahkan meski saya tidak memiliki selembar rupiah pun saya tidak akan mengemis menghiba sesuatu yang cuma-cuma demi bisa rekreasi. Saya hanya berusaha menghargai orang yang memberi, kenapa serusuh itu memberiku penghinaan? Aku sedang tidak dalam kondisi siap menerima hal seperti ini. Tolong kondisikan mereka untuk tidak mencela! Aku tidak nyaman dengan itu!" 

Saya pikir yang harus dilakukan hanya meleraikan dengan cara mengatakannya, namun saat hari ini sampai di tempat ini ternyata airmata kembali luruh saya baru menyadari bahwa hari itu saya terluka dan ternyata masih ada sisa airmata itu.

Hari ini, saya mengakuinya, meleraikan untuk memaafkan. 

Duhai hatiku, semua yang telah berlalu itu, jangan tangisi hari itu! Maafkanlah dan lepaskanlah! 
Semoga Allah lapangkan dan sembuhkan luka yang ada di sana!

Pangandaran, Senin, 8 November 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh