Bukan bermain, tepatnya didengarkan shalawat, dituntun membaca Al Qur'an, diajak ngobrol, salah satu yang paling membekas dibenak adalah kalimat ini, "Nanti kalau sudah besar shalat di masjid sama Kakek, tadarus sama sekolah agama sama yang lain di lembur nyaa!" MasyaAllah entah kenapa hati ini berdesir hangat namun netra tiba-tiba basah.
Saya mulai mengingat kalimat itu kembali, ingatan itu kembali, saat anak-anak masih bayi saya pun memimpikan hal yang sama; mereka yang berlari ke masjid dan madrasah untuk shalat berjamaah dan mengaji juga sekolah Diniyyah. Impian yang sederhana, bukan? Namun tahukah anda, pelaksanaannya tidak sesederhana itu..
And here it is about impian dan realita.
Suatu hari dalam acara kajian Ummahat di daerah Jatinangor saya bertemu seorang Ummahat, namanya Bu Ugi (semoga Allah merahmati beliau), itu kali pertama sekaligus terakhir saya berjumpa dengan beliau, seorang ibu sekaligus guru di sekolah dasar tempat suami saya bekerja saat itu. Beliau bercerita tentang perubahan besar yang terjadi pada seorang wanita saat ia bermetamorfosa menjadi Ibu, itu adalah nada dan volume serta durasi bicara. "Sependiam apapun wanita sebelum memiliki anak, saat ia menjadi seorang ibu akan tetiba cerewet, tiba-tiba volume suaranya meninggi, tiba-tiba kalimatnya panjang, saat ia berhadapan dengan anak, dengan kepentingan anak, demi kebaikan anak."
Anak-anak saya masih kecil saat itu, yang paling kecil baru sampai Aufa yang baru berusia 5 bulan. Umar 2,5 tahun dan Quthb 4,5 tahun. Saya merenungkan kalimatnya, sampai hari ini masih teringat jelas redaksinya, Bu Ugi sendiri sudah meninggal kurang lebih 3 atau 4 tahun yang lalu.
Sebelum menikah saya terbilang pendiam dalam moment tertentu namun aktif berbicara saat berdiskusi. Saya tidak pernah meninggikan volume suara, bukan pula seorang yang cerewet. Saat bertemu Bu Ugi pun saya masih Dede yang sama, hanya bicara saat dibutuhkan dan itupun tidak tinggi atau panjang namun saya akan menulis banyak kalimat di buku catatan saya. Saya masih Dede yang tidak tahu cara meninggikan volume suara, tidak tahu cara berbincang dengan orang lain kecuali jika itu berhubungan dengan hal-hal yang saya kuasai, saya tidak pandai berbasa-basi dan hanya tahu cara bicara yang cenderung serius.
"Teteh kelihatannya ibu yang kalem. Tak apa-apa untuk meninggikan suara saat dibutuhkan, cukup beberapa oktaf jangan terlalu tinggi. Tak apa saat harus cerewet jika itu dibutuhkan, anak-anak akan tetap mengambil pelajaran dari kecerewetan kita, saya yakin teteh ibu yang akan tetap menjaga kesantunan meskipun itu pada anak-anak teteh."
Kalem dan santun, kalimat itu yang justru saya simpan jauh di ujung terdalam hati saya, itu seperti sebuah do'a, sejak saat itu saya mengaminkan dan memotivasi diri saya sendiri untuk tetap kalem dan menjadi ibu yang santun.
Saat anak-anak beranjak besar barulah saya faham arti intonasi suara ibu, arti cerewetnya ibu, namun saya memilih untuk menghadapi anak-anak dengan karakter saya sendiri. Saya tetap bicara seperlunya tanpa meninggikan suara saya namun sungguh bertahan untuk tetap tenang itu tidaklah mudah. Saya membutuhkan banyak nafas dan kertas untuk menjaga kestabilan emosi apalagi saat berhadapan dengan lintasan impian saat mereka kecil bahwa, "mereka yang berlari ke masjid dan madrasah untuk shalat berjamaah dan mengaji juga sekolah Diniyah." Ternyata tidak semudah saat saya menyimpannya dalam list impian.
Ada saatnya anak-anak susah dibangunkan apalagi memintanya berangkat ke Masjid, tak jarang mereka menguji kesabaran dengan tidak mau berangkat ke Diniyah bahkan setelah di bujuk dengan berbagai macam cara. Saya melihat banyak ibu yang kemudian berteriak minta anaknya melaksanakan perintah dan anak tersebut menurut, suaranya tidak naik satu atau dua oktaf tapi mungkin lebih dari itu dan anak itu menurut.
Apakah anak yang mendapat perlakuan seperti itu terganggu emosi nya? Tidak, mereka tetap anak-anak yang happy dengan dunianya. Suatu saat saya ceritakan lebih lanjut tentang anak-anak itu.
Saya tetap dengan gaya saya namun sekali lagi saya membutuhkan lebih banyak waktu saat membujuk anak melakukan sesuatu dibandingkan mereka yang memiliki kepandaian dalam memenej suara dan kalimat.
Ada nafas yang tersenggal, saya tidak tahu apakah akan seperti itu juga yang dialami ibu yang bisa mengatur intonasi suara disaat yang tepat. Namun hikmahnya adalah saya kini mendapati tumpukan kisah tentang mereka yang tertulis di dinding memori, saya juga menemukan bahwa saya bisa tetap menjadi diri saya sendiri dan tidak harus kehilangan kewarasan meski saat itu nafas terasa tercekat di tenggorokan karena setiap perubahan emosi yang saya tuliskan dalam catatan harian.
"Besar nanti, Ummi akan mengantarkan mu ke masjid untuk shalat dan tadarus, ummi akan mengantarkanmu ke madrasah untuk belajar. Ummi akan menunggu di rumah, membuatkan jus dan makanan ringan untukmu saat pulang nanti." Impian kecil namun perlu stock nafas agar tetap menormalkan suara tanpa meninggikan volume.
Kini, setelah semua kisah itu berlalu, airmata mengalir mengingat akan masa itu. Bukan tangis sesak apalagi letih, namun tangis rindu hingga hati ini menghangat mendapati kalimat yang sama seperti yang terucap di hari itu.
Apa benang merah dari muqoddimah sampai penutup kisah ini? Sepertinya belum sesuai tema, tapi tetap akan saya post disini karena hari ini saya hanya ingin menceritakan ini dan menyimpannya disini. Jejak kecil yang akan menjadi pengingat antara saya dan anak-anak, jejak kecil yang membuat saya mengalirkan do'a untuk bayi kecil tetangga kami, semoga Allah memberkahi dan melindunginya serta memberkahi orang-orang disekitarnya.
Balananjeur, Kamis, 6 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar