Senin, 21 Maret 2022

Day 80

Moment ini sengaja saya abadikan sebagai bentuk apresiasi atas diri sendiri. Apresiasi karena dapat uang sawer? 

Oh iya, tadi pagi kakak-kakaknya teh Ayu (tetangga kami) melakukan saweran, tasyakuran walimah teh Ayu, saya ikut saweran dan biidznillah mendapat sekian rupiah dan permen seperti yang ada dalam photo diatas. MasyaAllah hadza min Fadhli Rabbi 😍

Hmm apakah yang sedang saya apresiasi pada diri sendiri karena dapat uang sawer? Salah satunya mungkin iya, tapi yang paling utama bukanlah itu namun karena saya merasa biidznillah sudah bisa menaklukkan rasa takut dan malu yang pernah bercokol mesra selama sekian puluh tahun. 

Takut dan malu karena apa? Berpuluh tahun lalu, tepatnya saat kelas 4 MI, saya pernah ikut saweran bersama teman-teman sekolah di daerah wetan (daerah sekitar rumahnya mamah Putri, teman de Olin). Saat itu saya jatuh dan terinjak-injak, rasanya sakit sekaligus membuat saya malu 🤭

Bukannya dapat uang sawer tapi justru dapat luka, kotor, sekaligus rasa malu. Sekarang mah mulai kepikiran, "kenapa harus malu?" Tapi jangan protes dengan rasa malu yang dirasakan saat itu karena hari itu tak bisa diulang, jadi cukup jadi cerita saja yaa 😁

Masih ada rasa takut makanya nggak berani pakai sandal kalau ikut nyawer teh, takut medannya licin dan terpeleset.. traumatis? Ya, mungkin hari yang tlah berlalu menjadi pengalaman traumatis bagi saya.

Ngomongin trauma, tetiba kepikiran saat-saat ada yang tiba-tiba datang ke rumah sambil menunjuk-nunjuk dan meluapkan amarah dengan kata-kata kasar, saya tidak memahami alasan kemarahannya karena terasa irasional, saya tidak menerima tiba-tiba dimarahi sedangkan orang tua atau suami sendiri pun tak ada yang pernah memarahi saya dengan kemarahan seperti yang saya terima di hari itu.

Hari yang terasa amazed, saya menjawab kemarahan dengan tetap tenang dan kalimat baik sampai-sampai ada yang bertanya, "teh Dede kok bisa tidak terpancing?" Karena menurutnya saya masih tetap bersikap sebagaimana Dede yang ia kenal (katanya), namun entah kenapa sejak hari itu saya mulai ketakutan dengan suara keras baik itu suara barang, suara orang atau suara apapun. Dada saya berdebar kencang, sesak hingga ambruk seketika. Lemas rasanya.

Butuh waktu lama sampai saya mulai tak terpengaruh lagi dengan suara keras, hmm mungkin sekitar 3 atau 4 tahun an, itu pun melalui self healing yang terasa berat pada masanya. Anak-anak tidak boleh ada yang berteriak, mereka boleh berbeda pendapat namun tidak boleh saling mengeraskan suara, harus berhati-hati dengan suara langkah kaki. Pokoknya nggak boleh ada suara keras apapun, harus tenang.

Trauma lainnya, saya takut melihat wajah orang yang pernah memarahi saya tersebut. 

Berlebihan? Ok gini ya, seumur hidup anda tidak pernah ada yang memarahi anda sedemikian keras dan kasar dengan kalimat yang menurut anda kasar lalu isi amarahnya itu tidak anda terima sebagai diri anda. Hmm i mean, kalau anda melakukan kesalahan ataupun melukai orang lain lalu anda ditegur karenanya, mungkin masih terasa masuk akal dan bisa diterima dengan akal sehat anda meskipun anda tidak menyukainya. Namun jika and tidak melakukan sesuatu seperti yang dituduhkan lalu ada orang yang mengangkat jari telunjuk memaki dan mencerca dengan tanpa ampun, bukankah Anda juga akan kebingungan? Saya pun seperti itu, "ini teh masalahnya apa? Mohon buat saya mengerti!" Pinta saya kali itu.

Oh hey saya selalu butuh penjelasan agar saya faham, tapi kali itu bukan penjelasan yang didapat namun justru kata-kata yang menurut saya menyakitkan untuk didengar. Dan semenjak itu bahkan hingga hari ini saya ketakutan melihat orang itu. Benak saya dipenuhi ketakutan, takut dia tiba-tiba marah seperti waktu itu. Marah yang saya tidak tahu alasannya apa.

Hey Defa, itu sifat dia. Bukan kamu saja yang pernah dimarahi! Iya saya faham, tapi apa yang harus saya lakukan saat saya tetiba gemetaran begitu melihatnya. 

Maafkan dia, Defa! Saya tidak merasa kesal ataupun marah atas sikapnya. Saya bahkan merasa khawatir sekaligus kasihan.

Ah, pengalaman traumatis memang butuh banyak waktu untuk menyembuhkannya. 



Balananjeur, Senin, 21 Maret 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku dan Buku