Sabtu, 23 April 2022

Day 103

Ke Bogor Kami Menjemputmu, Shalihah (bag 1)

Bukan perkara yang semudah mengedipkan mata saat kami membuat keputusan berangkat berdua menjemputmu ke Bogor, Nak. Ada banyak kisah pengiring langkah yang hampir sebagiannya dihiasi airmata meski kabar kepulanganmu adalah bahagia tiada tara bagi kami.

Baiklah, rasanya menyimpan catatan ini disini bisa menjadi pengingat untuk kalian juga dikemudian hari. Kami tak akan mengatakan ini sebagai pengorbanan namun kalian bebas melafaznya sebagai apa, ini adalah tugas dan tanggung jawab yang akan kami emban insyaAllah dengan sebaik-baiknya termasuk dalam penjemputan dan terutama karena hari ini adalah momen wisudamu.

Nak, ummi menulis ini sambil menyimak satu demi satu prakata di depan sana. Ummi duduk disini, di baris ketiga dari belakang disamping Bunda Keysa dan Bunda Yayu. Keduanya bercerita hal yang berbeda tentang banyak hal yang baru ummi tahu. Bunda Yayu berkisah tentang kehamilannya yang ke-10, tentang wakil bupati Bogor yang adalah keponakannya juga tentang banyak hal lainnya terkait rencana Ujian Sekolah anak-anak di rumah nanti. 

Bunda Keysa bercerita tentang rencana PPDB Keysa ke 2 sekolah menengah atas yaitu ke triguna dan MAN 11 Jakarta. Lalu tentang Dimas kelas 8 yang anak yatim. Bunda Keysa juga bertanya warna kerudung favorit ummi dan masih banyak lagi yang beliau ceritakan.

Ummi menyimak,diantara prakata ustadz didepan sana, suara dua bunda Shalihah disamping ummi serta rindu bersua denganmu menjelma dalam ingatan. Apa yang kau rasakan saat melihat ternyata ummi juga ikut serta, Nak?

Ah ya, bukankah ummi akan bercerita tentang keberangkatan kami yang awalnya diiringi air mata diantara deru bahagia kami? Maka izinkan ummi menuliskannya disini. Semoga hanya menjadi pembelajaran dan terjauh dari ghibah..

Nak, ini tentang persaudaraan yang belum sepenuhnya ummi fahami..

Adalah salah satu kakak Ummi yang menawarkan untuk mengantar kami menjemputmu, Nak. Bukan ummi yang meminta namun beliau yang menawarkan. 

Kendaraan pun kami dapat dari kakak ummi yang lain, namun kami kemudian mendapati kalimat, "Aa teu tiasa nganteur." Kalimat yang sebenarnya sudah ada dibilik prediksi kami namun saat ia nyata terdengar membuat ummi memandang dengan mata penuh kecewa dan duka.

Sungguh bukan ummi yang meminta namun ia yang menjanjikan, lalu dihempas oleh saudara yang itu adalah kakak sendiri rasanya bak ditikam sembilu meski ummi tak pernah tahu bagaimana sesungguhnya rasa ditikam sembilu. Ummi menangis, bukan menangisi taqdir atas ummi namun menangisi persaudaraan yang nyatanya belum ummi fahami.

Nak, ummi pun seorang kakak. Dan sebagai kakak, tak kan ummi biarkan adik ummi menangis karena ummi. Namun, Allah menghendaki ini atas ummi untuk memberikan ummi beberapa pembelajaran berharga yang tak akan ummi lupakan sepanjang sejarah ummi. 

Kenapa tak ummi lupakan? Agar ummi ingat apa yang harusnya ummi lakukan.

"Abi teu kantos ukeun, Aa nu masihan janji. Setelah ini Abi tahu, bahkan pada kakak sendiri pun tak boleh menyimpan harap. Sungguh engkau, suami dari istri yang membenci ibuku dengan kebencian yang tak masuk akal. Aku memaafkanmu." Ummi pikir akan luruh dengan mengatakan bahwa ummi memaafkan, nyatanya jika berkaitan dengan anak maka luka itu akan tetap terlihat sebagai luka.

Ini kali kedua, Nak. Yang pertama adalah 2 tahun lalu dan yang kedua tepat menuju penjemputanmu. Ummi belum memaafkan? Ummi pikir ummi benar-benar memaafkan. Lalu kenapa masih diingat? Berbeda antara mengingat dan memaafkan. Dan kisah ini akan tetap ummi ingat ..

Bersambung..

Balananjeur, Rabu, 13 April 2022




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hhhh