Yang pertama tentu ucapan belasungkawa dan empati yang sedalam-dalamnya bagi keluarga yang ditinggalkan, termasuk bagi kang Wawan yang pasti merasakan duka kehilangan.
Yang kedua ini menjadi pembelajaran bagi kami untuk lebih meluaskan silaturahim apalagi pada saudara dekat, pada saudara ayah dan juga ibu. Setelah kejadian meninggalnya paman kami ini, saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri, "20 tahun ini kemana saja?"
Oh iya, saya memang lebih memusatkan perhatian di rumah hingga kabar apapun cenderung tidak sampai. Bahkan ketika ada hari-hari penting yang terjadi pada saudara kami pun, kabar itu tidak sampai pada kami. Hmm, kami menjadi orang yang dilewatkan untuk dikabari.
Bahkan saat Ibu mertua sakit lalu saya menangis karena tidak ada yang memberi kabar hingga muncul kalimat dari kerabat, "kudu ngahubungi kamana?"
Dan saya tidak mau mendebat tentang bagaimana cara beliau menghubungi kami selama ini melalui telpon seluler yang bisa beliau hubungi seperti biasanya.
Lalu saat ada satu peristiwa yang membuat saya merasa, "oh, sepertinya hanya perasaan kami saja yang merasa bagian dari keluarga, karena nyatanya tidak ada yang menganggap kami sebagai bagian dari keluarga." Hingga akhirnya saya memilih menepi dan tidak ambil peduli.
Oh, ok.. bahkan menepi tidak harus menjadi alasan untuk abai dan menghindari silaturahim, bukan? Dan inilah yang kemudian saya sesali. Apapun yang saya terima tidak harus menjadi alasan saya berbuat hal yang sama. Saat orang-orang menjauh, ada beberapa pilihan yang bisa saya ambil dan itu bisa dipilih sekaligus. Tapi saya hanya memilih menepi dan menjauhi riuh hingga pada akhirnya menyesali karena itu bukanlah gambar utuh diri.
Terlepas dari kabar duka hari ini saya akan tetap mengambil ibrah sebagai cara memperbaiki diri.
Balananjeur, Kamis, 8 September 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar