Oleh : Dede Fatimah Shalihah
6 tahun yang lalu.
Aku tidak tahu kalau akan berakhir ditempat ini, mendapatkan nilai utbk tinggi serta lolos masuk ke universitas impianku dan fakultas impian serta semua yang sudah direncanakan sejak lama, namun justru akhirnya terjebak di universitas di pinggiran kota. Tempat yang sama sekali tidak ada dalam list impian dengan fakultas yang tidak pernah ada dalam benak; fakultas pendidikan. Aku berdebat dengan hatiku saat memutuskan mengubah jalur, toh ini hanya masalah hati yang bisa dibolak-balik, dan aku hanya perlu mengatur langkah juga rencana agar perjalanannya tetap sesuai alur.
Apakah aku kecewa? Aku merasa rendah diri dihadapan teman-temanku yang masuk universitas negeri incaran mereka masing-masing, sedangkan aku terdampar disini. Kalimat ini terasa dramatis saat ku ceritakan, aku bahkan ingat dengan jelas saat menangis menceritakan pada Ibu tentang bagaimana sesaknya dadaku saat teman-teman mengirimi pesan WA bertanya kuliah dimana.
“aku malu pada teman-temanku jika kukatakan aku hanya akan kuliah disini, di universitas kecil yang tidak pernah ada dalam list impian kami.” Entah seperti apa rupa sesakku, namun yang pasti rasanya membuat dada terasa menyempit dan kehilangan cara bernafas.
“kakak juga lolos fakultas hukum impianmu, universitas negeri favoritmu. Lalu apa yang membuat kakak harus merasa rendah diri? Insecure dari orang-orang diluar sana? Lihat, passinggrade kakak sangat tinggi! Apa karena akhirnya masuk universitas swasta dengan jalur undangan lantas layak membuat kakak minder?” seringkali aku harus diingatkan untuk kembali menata sikap dan terutama menata hati.
Ya, kali ini yang kuinginkan bukan sekedar ibu yang membasuh gelisah di hati, namun ibu yang membantuku membuka mata. Dan ibu melakukannya.
“semangatmu, Nak, adalah hal paling berharga dalam dirimu. Kakak tidak membuat satu rencana dalam pendidikan namun banyak rencana dengan satu visi, yaitu semua yang membuat kakak menjadi orang yang bermanfaat karena Allah. Ini juga satu dari sekian list planning kakak. Masih ingat saat kakak ditanya mau dilanjutkan kemana?”ibu mengusap kepalaku lembut.
“hukum, universitas paling bergengsi di Indonesia.” Jawabku pelan.
“dan kakak mendapatkannya.”
“tapi kakak akhirnya terjebak disini.”
“apa kakak merasa terjebak?” aku mengangguk pasti.
“coba diingat lagi apa yang kakak katakan di hari itu! Hari saat kakak menyampaikan rencana pendidikan kakak!” ibu kembali bertanya.
“apakah aku mengatakan hal lainnya selain itu?”aku mencoba mengingat-ingat keseluruhan kalimat yang kuucapkan, namun ternyata sesulit itu mengorek memori yang berhubungan dengan kalimat.
“ibu akan menunjukanmu catatan yang ibu simpan di dalam jurnal harianmu.” Lalu ibu menyerahkan sebuah buku dengan tebal 200 halaman dan menunjukkanku ke halaman 39 yang berisi tekadku untuk hari esok. “aku tidak akan memasung diri hanya dengan sebuah gedung yang harus kumasuki. Aku akan menjadi manusia merdeka yang mengepakkan sayap dengan bebas. Menjadi apapun aku di hari esok, aku hanya ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain lalu kelak kembali ke sisi Rabbku dengan Ridha Rabbku. Ibu, ini aku yang mencatatnya. Ya, aku ingat hari itu kutuliskan ini dengan penuh keyakinan dan kesadaran.” Ah, aku ingat bahwa kami memiliki diary bersama. Aku juga mulai mengingat yang kuucapkan di hari itu, “kalau aku masuk fakultas hukum, maka impianku adalah memanfaatkan ilmu itu untuk kemuliaan dienku, untuk kemanfaatan ummat ini. Begitupun kalau aku masuk kedokteran, keguruan, Teknik atau bidang keilmuan yang lainnya. Aku tidak akan menargetkan diriku hanya dengan harus masuk satu jurusan tertentu hingga terjebak di dalam kerisauan saat tidak bisa meraihnya karena suatu sebab, aku hanya akan berjuang dan belajar dengan baik lalu mari kita lihat bagaimana taqdir menyampaikan pesannya untukku.” Kata demi kata yang tertuang disana terlihat penuh semangat dan optimis.
“Ibu, rupanya masuk keguruan pun ada dalam list rencanaku. Allah menyampaikan pesan melalui untaian taqdir yang awalnya membuatku merasa hancur. Sebab ini dan itu hanyalah dzahirnya saja, ketiadaan biaya bukanlah kesalahan namun pesan cintaNya agar aku melihat kembali kesungguhan niat dan tekadku. Ibu, Allah mengajak langkah kakiku untuk menjadi guru dan bukan menjadi hakim, pengacara ataupun jaksa pasti ada hikmah besar dibalik semua itu. Aku akan membaca kembali surat cintaNya dengan penuh kelapangan. Terima kasih untuk selalu menyimpan kisahku.” Lihatlah, bukankah bukan hal yang sulit merubah haluan saat kita membiarkannya untuk berubah. Tidak ada yang berat meski hati kita pernah -seolah- terlihat sangat menginginkannya.
6 tahun kemudian
Sudah enam tahun sejak aku galau-galauan karena merasa berada di tempat yang salah, nangis hingga berdebat dengan taqdir yang membuatku menarik nafas cukup lama hingga akhirnya berdamai dengan alur yang ada. Kini aku diterima menjadi dosen di perguruan tinggi yang pernah kutangisi, di fakultas yang membuatku memerah airmata karena tidak jadi ku tempuh.
Cukup lama aku terpekur menafakkuri waktu, hari demi hari yang belum selesai ku jelajahi arti dan maknanya, sungguh luar biasa pesan cintaNYA menyapa, bahasanya terasa sulit dicerna di awal, hingga pasrah menjadi pengiring langkah yang kemudian menjelma menjadi keyakinan bahwa semua itu tidak akan sia-sia, jika kita menyandarkan diri pada sang pencipta dengan penuh keyakinan dan prasangka baik bahwa akan ada kabar baik setelah penyerahan diri secara total kepadaNya.
masyaAllah, Alhamdulillahilladzii bini’matihii tatimmushshoolihat, bukankah dulu telah kuazzamkan untuk menjadi manusia yang bermanfaat tanpa mengikat diri dalam satu cita di kehidupan? Menjadi apapun, apakah menjadi hakim ataupun jaksa, menjadi dokter ataukah perawat, menjadi guru ataupun staf TU, menjadi apapun aku hanya perlu berusaha untuk meningkatkan kualitas diri agar bisa memaksimalkan potensi untuk memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi ummat. Nikmat mana yang pantas ku keluhkan? Bahkan meski aku tidak jadi dosen di universitas yang tidak jadi kutempati di masa S1 itupun aku tidak akan kecewa ataupun mengeluh, aku hanya perlu berdamai dengan alur yang tercipta untukku dengan usaha terbaik yang bisa ku lakukan.
“ibu, hidup ini aneh.” Aku duduk dibangku pekarangan tempat dulu kukeluhkan sesak, kali ini terasa sunyi meski aku tak lagi bercerita tentang sesak.
“ini aku, Bu. Dulu menangis karena tidak jadi kuliah di sana namun kini justru menjadi dosen disana.” Netraku basah, bait kerinduan mulai menyapa
“terima kasih untuk memeluk dan membersamaiku saat aku lemah, terima kasih untuk menguatkan dan mendukungku menjadi sebaik-baik diriku. Untuk melihat hari esok tidak dari sudut yang kaku, bukan menjadikan aku sebagi apa namun seperti apa menjalani hidup. Ibu, terima kasih untuk mengingatkanku bukan hanya sekedar menyeka sudut netraku yang basah. Ini aku, bu, anakmu. Izinkan aku untuk berbakti kepadamu dengan berusaha menjadi anak yang sennatiasa meriuhkan do’a dengan dzikir dan amal shaleh. Ibu, aku mencintaimu karena Allah.”
Lirih angin menyapa lembut, tasbih kehidupan mendekap dengan alurNya yang tidak bisa di tebak. Kita hanya perlu berusaha yang terbaik, menyiapkan yang terbaik, namun janganlah menggenggam dunia terlalu erat karena genggaman yang terlalu erat hanya akan melukai saat harus terlepas. Begitupun dengan cita-cita dalam kehidupan, ukurannya bukan karena kita ingin atau terhubung dengan konsep ideal kita, namun pada kebermanfaatan yang akan kita haturkan. Menjadi apapun kita, semoga menjadi orang yang sennatiasa menebarkan manfaat dan banyak kebaikan, karena ilmu kita akan dihisab sesuai manfaat dari ilmu tersebut. Maka semakin tinggi ilmu haruslah menjadikan kita pribadi yang lebih bermanfaat.
“ibu, seperti katamu dulu, kita hanya perlu melapangkan hati dan memaksimalkan usaha agar alur hidup kita selaras dengan kebenaran yang diyakini. Besok aku akan mulai dengan hari yang baru, Bu. Semoga Allah Ridhai dan kebaikannya sampai kepadamu.”
Balananjeur, 6 Oktober 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar